A. Teologi
Mu’tazillah
1.
Latar
Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah
oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini
adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah). [1]
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.[2].
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah
I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral
politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut
kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada
pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[3]
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah
II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.[4]
Pemberian nama Mu’tazilah kepada
golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata
serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah.,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang
orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan
mesjid. Di sana
wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).”[5]
Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah
yang disebut kaum Mu’tazilah.[6]
C.A. Nallino, seorang orientalis
Itali, mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras
dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah
sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya”. Sebagaimana
pendapat Asy-Syahrastani, Al Bagdadi, danTasy Qubra Zaddah. Nama Mu’azilah diberikan kepada mereka karena
mereka berdiri netral di antara khawarij dan
murjiah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan yang erat dengan mu’tazilah I . pendapat ini dibantah
oleh Ali Sami An-Nasysyar mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk
ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut
kaum netral politik.[7]
Dr. Ahmad Amin (alm) berkata dalam
ktab Fajrul Islam:
“Kami punya
dugaan lain tentang penamaan mereka dengan Mu’tazilah, yaitu seperti apa yang
kami baca dari pernyataan al-Muqrizi bahwa diantara sekte-sekte Yahudi yang
terbesar pada masa itu dan sebelumnya ada sekte yang dinamakan al-Furusyum yang
artinya Mu’tazilah. Sebagian menyebutkan bahwa sekte ini berbicara tentang
taqdir. Maka tidak berlebihan jika kata Mu’tazilah ditujukan kepada kelompok
orang Yahudi yang masuk Islam karena melihat kesamaan antar kedua kelompok.[8]
Kesamaan antara Mu’tazilah Yahudi dan
Mu’tazilah Islam amat banyak, yang disebut pertama menafsirkan Taurat dengan
logika sementara yang kedua mana’wilkan Al-Qur’an dengan logika juga.
Al-Muqrizi berkata : “Al-Furusyum yang ia namai Mu’tazilah itu menafsirkan Taurat sebagaimana para pendahulu mereka”.[9]
2. Tokoh-Tokoh
Aliran Mu’tazillah
a) Wasil
bin Atha (80-131). Wasil ban Atha al-Ghazal terkenal sebagai pendiri aliran
Mu’tazillah, sekaligus pemimpin yang pertama. Dan ia juga terkenal sebagai
orang yang meletakkan prinsip pemikiran Mu’tazillah yang rasional. Ia seorang
ulama yang pertama kali menganjurkan aliran dan pahamnya yang terkenal di
daerah Basyrah (Irak) pada permulaan abad ke II H.
Cabang Basyrah ini selain Washil bin ‘Atha sebagai tokohnya juga dibantu
oleh :
a.
Umar bin Ubaed (W. 144 H) dan murid- muridnya seperti,
b.
Usman bin At-Ta’wil
c.
Hafsah bin Salim
d.
Hasan bin Zawan
e.
Khalid bin Safwan
d.
Ibrahim bin Yahya al-Madani
b) Al-Allaf
(135-235) H). Nama lengkapnya yaitu Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-
Allaf. Ia sebagai pemimpin Mu’tazillah yang kedua di Basrah. Ia banyak
mempelajari filsafat yunani. karena pengetahuannya tentang logika membuat ia
menjadi ahli debat. Golongan Zindiq(orang yang pura-pura masuk islam), dari
kalangan Majusi, Zoroaster, maupun ateis yang tidak bisa membantah argumentasinya.
c)
Syekh Hasan Basri (W. 110 H) Ulama besar dari
Bagdad itu banyak yang berguru kepadanya dan di antara muridnya adalah Washil
bin ‘Atha (80-131 H) karena itulah Washil bin ‘Atha dinamai kaum Mu’tazilah karena
ia mengasingkan diri atau memisahkan diri dari gurunya. Pada suatu hari Hasan
Basry (699-748 M) menerangkan masalah kedudukan mukmin dari kafir di akhirat
nanti, katanya : ”Setiap orang Islam yang telah beriman dengan mengucapkan dua
kalimah Syahadat, tetapi kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap
sebagai muslim tetapi termasuk muslim yang durhaka.
d)
Bisyir Al-Mu’tamar
(wafat 226 H) Ia merupaka aliran Mu’tazilah di Baghdad. Ia juga seorang tokoh
yang membahas konsep tawallud yaitu batas-batas pertanggung jawaban manusia
atas perbuatannya.
e)
An-Nazzham (184-221 H).
ia adalah murid Abul Huzail Al-Allaf. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir
yang luar biasa, yaitu tentang metode keraguan, dan metode Empirika yang
merupakan cikal bakal renaissance (pembaharuan) di Eropa.
f)
Al-jubba’I (302 H) .
Al-jubbai adalah guru imam Al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asy’ariyah.
g)
Al-Khayat (wafat 300 H)
Abu al-Huseinal-khayyat termasuk tokoh Mu’tazillah Baghdad. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mu’tazilah.
h)
Al-Qodhi Abdul Jabbar
(wafat 1024 H). Ia diangkat sebagai kepala hakim oleh ibnu abad. Al-Qadhi Abdul
jabbar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazillah, ia
mempunyai prestasi yang baik yang baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan
kenegaraan.
i)
Az-Zamakhsyari
(467-538 H). Nama lengkapnya adalah Jarullah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Ia
dilahirkan didesa zamakhsyar, khawarizm, iran. Sebutan jarullah mempunyai arti
yaitu tetangga Allah, ia terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir,nahwu, (
gramatika) paramasastra.
3.
Akar
Pemikiran dan Ajaran Pokok Mu’tazilah
Mu’tazilah
muncul dengan mengusung dua pemikiran yang baru, yaitu: 1) Manusia bebas memilih apa yang akan ia lakukan, dan manusia itu
menciptakan perbuatan-perbuatan mereka sendiri, 2) Pelaku dosa besar bukanlah
seorang muslim dan bukan juga seorang kafir, akan tetapi ia adalah seorang
fasik dan berada di tempat diantara dua tempat (ini adalah keadaannya di
dunia), sedangkan di akhirat ia kekal di neraka, tidak mengapa jika ia disebut
muslim karena ia menampakkan Islam dan mengucapkan syahadatain, tetapi ia tidak
disebut mukmin.[10]
Kemudian mereka membuat
madzhab mereka menjadi 5 asas:
a )
Tauhid (Keesaan Allah)
Tauhid sebagai aqidah pokok dan yang pertama dalam Islam, bukan oleh
mu’tazilah. Dalam prinsip keesaan (At-tauhid), benar-benar mempertahankan
semurni-murninya, karena menghadapi golongan syiah rafidah yang ekstrim yang
menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjisim dan bias diindera di samping
golongan-golongan agama dualisme dan trinitas.[11]
Atas dasar prinsip ini mereka menyatakan kemungkinan untuk melihat
Allah SWT pada hari kiamat sebagai kosekuensi dari sifat-Nya yang berposisi dan
mengharap arah. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip tersebut bahwa tiada
lain selain dzat yang qadim. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip tersebut
bahwa sifat tiada lain selain dzat, maka jika tidak demikian akan berbilanglah
dzat yang qadim. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip ini bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk Allah SWT, sebagai konsekuensi dari penolakan berhilangnya qadim
dan sebagai penolakan atas sifat Kalam bagi Allah.[12]
Ajaran
dasar yang terpenting bagi kaum Mu’tazilah adalah at-Tauhid atau ke-Mahaesaam
Allah. Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha Esa jika Ia merupakan Zat
yang unik, tiada ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu, kaum
Mu’tazilah menolak paham Anthropomerphisme, yaitu paham yang
menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak paham Beautific
Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia.
Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya
adalah sifat qadim. paham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat Tuhan. Menurut
paham ini tidak berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi kaum
Mu’tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha
Melihat, dan sebagainya, tetapi itu tidak dapat dipisahkan dari dzat Tuhan,
dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi dzat Tuhan. Adapun yang
dimaksud kaum Mu’tazilah dengan pemisahan sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana
pendapat golongan lain yang memandang bahwa sifat-sifat Tuhan sebagian esensi
Tuhan dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu’tazilah
paham ini mereka munculkan karena keinginan untuk memelihara ke Mahaesaan
Tuhan.
b) Al Adlu (Keadilan)
Jika
dalam ajaran pertama kaum Mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan Dari persamaan
dengan makhluk-Nya, maka ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan perbuatan
Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang berbuat adil
seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin berbuat zalim.
Dalam
menafsirkan keadilan, mereka mengatakan sebagai berikut: “Tuhan tidak
menghendaki keburukan dan tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan sendiri segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya
dengan kodart (kekuasaan) yang dijadikan oleh Tuhan pada diri mereka. Ia hanya
memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia menghendaki kebaikan-kebaikan yang
Ia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang
dilarang”.
Semua
perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat
buruk, bahkan menurut salah satu golongan, Tuhan tidak bisa berbuat buruk
karena perbuatan yang demikian hanya dilakukan oleh orang yang bersifat tidak
sempurna, sedang Tuhan bersifat Maha Sempurna.
Mu’tazilah memperdalam arti keadilan
dan menentukan batas-batasnya. Dasar keadilan yang dipegang ialah meletakan
pertanggung jawaban manusia atas segala perbutannya dan dalam menafsirkan
keadilan.[13]
Golongan Mu’tazilah menafsirkan keadilan
tersebut sebagai berikut[14]
:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia,
manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-nya dan meninggalkan
larangan-larangan- Nya karena qodrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri
mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang
kecuali apa yang dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahka-Nya dan tidak tahu menah (bebas) dari keburukan-keburukan yang
dilarang-Nya”.
Dengan dasar keadilan ini mereka
menolak pendapat golongan jabariyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala
perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman
menjatuhkan siksa kepadanya.[15]
c)
Al
Wa’du wal Waid (Janji dan Ancaman)
Ajaran
ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan Tuhan. Kaum
Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan akan menjatuhkan
sikap kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak dikatakan adil
jika Ia tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak
menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki supaya orang yang
bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik diberi hadiah
berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Pendirian
ini bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak
mempengaruhi iman dan tak mempunyai kaitan dengan pembalasan. Kalaua pendapat
ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya. Hal yang demikian
mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu’tazilah mengingkari adanya syafa’at
(pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa’at menurut mereka berlawanan
dengan prinsip janji dan ancaman.
Pengertian
janji dan ancaman adalah kewajiban bagi Allah untuk memberikan pahala kepada
orang yang taat sebagaimana telah dijanjikan-Nya dan keharusan Allah untuk
memberikan hukuman kepada orang yang durhaka sebagaimana telah diancamkan-Nya.[16]
Mereka berkeyakinan bahwa janji dan
ancaman akan terjadi, maka janji Allah (untuk memberi pahala) akan terjadi,
begitu juga ancaman-Nya untuk (untuk menyiksa) akan terjadi. Maka orang yang
berbuat baik akan dibalas dengan baik dan orang yang berbuat jahat akan dibalas
dengan kejahatan. Tiada dosa besar yang diampuni tanpa taubat, sebagaimana
tiada halangan bagi yang berbuat baik untuk menerima pahala. Hal ini merupakan
satu jawaban terhadap orang murjiah yang mengatakan bahwa maksiat tidak
mempengaruhi mereka iman, sebagaimana taat tidak mempengaruhi kekafiran.
Andaikata pendapat ini benar, maka ancaman Allah itu non sekte. Maha suci Allah
dari segala tuduhan mereka.[17]
d)
Al Manzilah baina Manzilataini (Tempat diantara dua tempat)
Prinsip
keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan. Pembuat dosa
bukanlah kafir, karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi
mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna.
Karena
bukan mukmin, para pembuat dosabesar tidak dapat masuk surga dan tidak masuk
neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil mereka ditempatkan di antara surga
dan neraka. Akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan
neraka, maka mereka harus dimasukan kedalam salah satu tempat ini. Berdasarkan
sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani, kaum Mu’tazilah lebih memperdalam
pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut, sehingga menjadi prinsip dalam
lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini nampak jelas dalam usaha
mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
Pernyataan bahwa seorang muslim yang bermaksiat berada diantara
kedudukan seorang mukmin dan seorang kafir, telah dijelaskan Asy-Syahrastani
dalam kitab al-Milal wan Nihal. Ia
berkata :
“Wasil bin Atha
berkata bahwa iman adalah perilaku baik, apabila terdapat dalam diri seorang
maka ia mukmin, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak berperilaku baik,
ia tidak berhak dipuji dan ia tidak disebut mukmin,akan tetapi ia bukan kafir,
karena ia bersyahadat dan berbuat baik, tidak ada bentuk pengingkaran, akan
tetapi apabila ia mati dengan membawa dosa besar tanpa bertobat maka ia kekal
di neraka; sebab di akhirat hanya ada dua golongan, yaitu ahli neraka dan ahli
surga, namun siksaan orang tersebut diperingan”.[18]
Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut merupakan tolak belakang
pendapat golongan Mur’jiah sebagaimana ketaatan tidak akan berguna di samping
kekafiran. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada
artinya sama sekali, suatu hal yang mustahil ada pada Tuhan.[19]
Mengapa ia (kaum fasik) tidak dimasukkan ke surga kelas yang lebih
rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini Mu’tazilah ingin mendorong agar
manusia tidak menyepelekan dosa, terutama dosa besar. [20]
e)
Amar
Ma’ruf nahi Munkar (Menyeru kepada kebaikan dan mencegah pada kemunkaran)
Mengenai
hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongan-golongan umat
islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya pada segi pelaksanaanya, apakah
seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dengan dilakukan
dengan lunak atau dengan kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa seruan
berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan lemah
lembut. Akan tetapi sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah,
mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi kaum
Mu’tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan
harus diluruskan. Karena keberanian dan keyakinan mereka dalam memegang hasil
pemikiran akal, maka mereka hanya mau menerima dalil-dalil naqli yang bagi
mereka sesuai dengan akal pikiran.
Ajaran dasar yang kelima adalah
menyuruh kebajikan dan melarang (Al-Amr
Al-Ma’ruf wa An Nahy an Munkar). Ajaran
ini menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan.[21]
Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi seorang mukmin dalam beramal
ma’ruf dan nahi munkar, seperti
yang dijelaskan oleh salah seorang
tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini[22]
:
a.
Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang mungkar.
b.
Ia
mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang.
c.
Ia
mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf
atau nahi munkar tidak akan membawa
madarat yang lebih besar.
d.
Ia
mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.
Prinsip ini lebih banyak berhubungan
dengan taklif dan lapangan fikih daripada lapangan kepercayaan atau tauhid.
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memuat prinsip ini, antara lain surat Ali Imran ayat 104
dan Lukman ayat 17. prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk
penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat. Sejarah
menunjukan betapa hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap
kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiy, yang hendak
menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan tidak segan-segannya
menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap
golongan-golongan Islam sendiri, sebagaimana yang pernah dialami golongan ahli
Hadits dalam masalah Qur’an. Menurut orang Mu’tazilah orang menyalahi pendirian
mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan.[23]
ereka.
4.
Mu’tazilah Pada masa
sekarang
Pada
tahun 1869, pemikiran Mu’tazilah semakin mendapat tempat di benak para pemuda
yang hanya bermodalkan semangat,kala itu bendera Mu’tazilah kembali di angkat oleh
seorang reformernya Jamaluddin Al Ironiy Al afghoni. Kedatangannya ke Mesir
benar-benar merusak aqidah para pemudanya, terlebih mahasiswa-mahasiswa Al
Azhar di Kairo.
Muhammad
Abduh bin Hasan At Turkumaniy, ia lahir di Mesir pada tahun 1849 juga slah seorang
siswa Al-Azhar. Kemudian setelah menamatkan kuliahnya di Al-Azhar tahun 1877
dia dan Jamaluddin Al Afghoni yang telah menjadi gurunya serta tokoh-tokoh
lainnya seperti Muhamad Rasyid Ridho, Muhammad Musthofa Al Maroghi, menjadi
corong utama gerakan kaum rasionalis yang kemudian tulisan-tulisannya banyak di
adopsi kaum muslimin dewasa ini. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 9-10).
Yang
melekat sepanjang sejarah mewarnai gerakan sesat Mu’tazilah ini hingga kemudian
nampak di masa sekarang adalah pengagungannya terhadap akal mengalahkan
kedudukan naql, tak heran bila kemudian para ahli filsafat, ahli kalam, dan
ahli mantiq banyak bercokol dalam gerakan ini, di antara
pernyataan-pernyataannya:
- Akal adalah dalil yang paling pokok dan pondasinya.
- Akal mesti didahulukan di atas syariat (naql).
- Dalil-dalil akal bersifat yakiniyyah, pasti, melalui proses pengkajian yang dalam sehingga melahirkan pesan-pesan yang argumentatif.
- Pahala dan siksa tergantung pada hukum akal.
- Penilaian terhadap suatu perbuatan, baik atau buruk kembali pada akal.
Tak
lama kemudian angina berhembus begitu kencang dari arah Turmudz, tepatnya di
negeri Khorosan, membawa bid’ah baru di sela-sela guncangan bid’ah Mu’tazilah
jahmiyyah,itulah bid’ah berikutnya yang mengoyak keutuhanajaran islam yang telah
dijalani dan dieragakan manusia-manusia terbaik dari umat ini, para sahabat,
tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Berkat kiprah dan ulah sang
jagoan debat dan ahli kalam Al Jahm bin Shafwan bid’ah ini tersebar, bahkan
Allah tidak berbicara kepada Musa, Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat
berbicara tidak dapat pula dapat dilihat, dan Allah AWJ tidak beristiwa di atas
arsyNya. Agak nya gambaran radikalisme begitu melekat pada gerakan bid’ah ini,
pimpinannya Jahm bin Shafwan pun dicap sebagai gembong pelaku kejahatan dan
kerusakan, ia menyatukan tiga kebid’ahan di antara bid’ah-bid’ah lainnya.
- Ta’thil, meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan baginya Allah tidak boleh disifati dengan sifat apapun, karena menurutnya akan terjadi kesamaan dengan makhluk-Nya.
- Al Jabr, menurutnya manusia tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun, tidak disifati dengan sifat kemampuan, akan tetapi manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya, tidak diberikan kemampuan, keinginan, dan ikhtiyar/pilihan.
- Al Irja, menurutnya Iman adalah m’rifat, tidak akan berkurang dan tidak bertingkat-tingkat. (Al Milal wan Nihal: 1/86-88, Al Farqu bainal Firaq: 211).
Para salaf
mengkategorikan pernyataan Jahm ini sebagai pernyatan-pernyataan kufur. Al Jahm
bin Shafwan, di samping kesesatan-kesesatannya yang telah kita sebutkan, ia
juga seorang tokoh pemberontak. Al Jahm bersama Suraij bin Harits memberontak
emerintahannya, kemudian Nasher bin Sayaar memerintahkan Salim bin Ahwaz
sebagai panglima perangnya berikut beberapa pasukan utuk menghadangnya.
Akhirnya Salim bin Ahwaz berhasil membunuhnya di akhir masa Bani Marwah. (Al
Farqu bainal Firaq: 36 dan 212).
Terkadang telah
dikira baha Jamiyyah telah lenyap ditelan masa, padahal Mu’tazilah adalah
cabang dari (bid’ahnya) Jahmiyyah, dan Mu’tazilah sangatlah banyak (sekarang
ini), lagipula orang-orang menisbatkan kepada faham asy’ariyah pun dalam banyak
permasalahan merujuk kepada madzhab Jahmiyyah. (Tarikh Jahmiyyah wal
Mu’tazilah: 6, dari Maufiq Ahlissunnah: 156).
Jahmiyyah dalam
meniadakan sifat-sifat Allah bertolak dari akal. (Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyah: 21). Ini semua menunjukan bahwa model-model pemikiran Jahmiyyah
masih tetap ada hingga hari ini di zaman kita ini.
- Teologi Asy- Ariyah
a.
Latar
Belakang Munculnya Aliran Asy- ‘Ariyah
Asy’ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan
Al Asy’ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. bertepatan dengan tahun 935
M. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun.
Aliran
asy’ariyah berkembang dibasrah (irak) kira-kira pada tahun 300 H.Pendirinya
adalah Abu Hasan Ali Bin Ismail Al-Asy’ari. Pada
mulanya seorang pengikut aliran mu’tazilah yang terkemuka.ia keluar dari aliran
mu’tazilah karena ada beberapa sebab,antara lain karena ia merasa tidak puas
dengan jawaban gurunya,yaitu Al-jubba’i atas pertanyaannya mengenai persoalan
mukmin ,kafir dan anak kecil.
Al Asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah
itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.
MenurutIbnu Asakir yang melatarbelakangi Al Asyari meninggalkan faham
mu’tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rosulullah
sebanyak tiga kali, dimana Rosulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham
mu’tazilah dan membela faham yang diriwayatkan dari beliau.[24]
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail
bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu
Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Asy’ari. Lahir di Bashrah pada
tahun 260 H atau 270 H. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang mu’tazilah
terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan
mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikitnya dari
hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.[25]
Menurut Ibn Asakir,
ayah Al-‘Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-‘Asy’ari masih kecil. Sebelum
wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Al- Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik ayahnya mendidik
‘Asy’ari. Ibu Al-‘Asy’ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh
Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Aj-Juba’i (w.321H/932 M). Berkat didikan ayah
tirinya itu, Al-‘Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Selain itu, banyak
menulis buku yang membela alirannya (Mu’tazilah).[26]
Al-Asy’ari menganut
faham Mu’tazilah sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia
mengumumkan dihadapan jam’ah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
faham Mu’tazilah dan menunjuk keburuka-keburukannya.[27]Ia
berkata:
“Wahai manusia.....orang yang
mengenalku pasti tahu dan orang yang belum mengenlku aku akan memperkenalkanku
diriku padanya. Aku fulan bin fulan. Aku menyatakan bahwa Qur’an dalah makhluk
dan Allah kita melihat dengan mata, dan
perbuatan jelek adalah perbuatan yang aku lakukan, dan aku kini bertobat dan
menanggalkan pakaianku untuk mu’tazilah dan akan membuka aib mereka. Wahai
manusia ! Aku absen dari kalian beberapa waktu ini, karena aku meneliti dan
mencari tetapi tidak ada sesuatu yang aku dapatkan, maka aku mohon petunjuk
kepada Allah, kemudian ia menunjukan kepadaku kepada keyakinan yang dititipkan
kepada kitabku ini. Maka aku tanggalkan semua yang pernah aku yakini seperti
aku tanggalkan pakaianku ini. Kemudian menganjurkan manusia kepada apa yang ia
tulis berdasarkan metode ahli fiqih dan hadits.[28]
Bahwa pengaruh aliran
muta’zilah mencapai puncaknya pada zaman khalifah al-ma’mun,setelah al-ma’mun
menjadikan aliran muta’zilah sebagai aliran teologi resmi negara. Dengan memanfaatkan kekuasaan
pemerintah,kaum muta’zilah memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi rakyat
agar menerima ajaran-ajarannya.namun banyak orang yang menentang
ajaranya,akibatnya harus menjalani hukuman penjara.setelah Al-Mutawakkil
berkuasa,pemakaian aliran mu’tazilah sebagai aliran resmi di hapuskan.sejak itu
pengaruh aliran mu’tazilah mulai menurun.lawan-lawan muta’zilah menjadi banyak,
terutama Jabariah dari kalangan rakyat biasa yang tidak dapat menyelami
ajaran-ajaran mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis.rakyat biasa
dengan pemikirannya yang sederhana,ingin ajaran-ajaran yang sederhana pula.
Nama
tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain :
a.
Al Baqilani (wafat 403 H)
b.
Ibnu Faruak (wafat 406 H)
c.
Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
d.
Abdul
Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
e.
Imam
al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
f.
Abdul
Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
g.
Al
Ghazali (wafat 505 H)
h.
Ibnu
Tumart (wafat 524 H)
i.
As
Syihristani (wafat 548)
j.
Ar
Razi (1149-1209 M)
k.
Al
Iji (wafat 756 H)
l.
Al
Sanusi (wafat 895)
Abu musa al-asyari diberi gelar
pencipta ikatan ahlusunah wal jamaah,hampir semua ulama jumur menggambungkan
diri kedalam ikatan ini dan mengambil konsepsi Asy’ariyah menjati pokok-pokok
keyakinannya. Konsepsi tersebut mewajibkan kita beriman dengan qada dan
qadratnya, baik-buruknya ,manis-pahitnya, semua dari Alllah, dan kami mengakui
bahwa Quran itu kalamullah bukan makhluk, barang siapa mengatakan Quran itu
makhluk berarti kafir.[29]
Pemikiran formulasi Al asy’ari,
secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodokx
ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi.
Maksudnya,
dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan
aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu’tazilah,
suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini,
mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M).
b.
Akar Pemikiran dan Ajaran Pokok Asy- ‘Ariyah
Adapun pandangan-pandangan
Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah :
a) Tuhan dan sifat-sifatnya
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil
kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun
tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan
lain. [30]
Al-Asyari berpendapat bahwa Allah memiliki
sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh
diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan
Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak
berbeda dengan-Nya.[31]
b) Qadimnya Al-Qur’an itu
Assyihristany dan Ahmad Amin,
Imam Asy’ari membagi perkataan Tuhan kepada dua bagian, yaitu[32]
:
1)
perkataan
yang ada pada zat-Nya (Kalam nafsy). Sifat ini adalah sifat zat dan qadim.
2)
Perkataan
yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini baru dan makhluk
(diadakan)
Akan tetapi
dalam kitab yang lain, yaitu Al-Ibanah, Asy-Asy’ary lebih condong kepada Ibn
Hambal, karena ia dengan jelas menyatakan bahwa perkataan Tuhan tidak makhluk,
baik berupa kata-kata ataupun bukan, Al-Asy’ari berkata, ”tidak satu bagianpun
dari Qur’an makhluk.”[33]
Al-Asy’ari
berpendapat bahwa ”berkata adalah positif. Kalam Allah itu bersifat spiritual,
tidak seperti cinta dan benci. Al-Qur’an adalah firman Tuhan dan ia bukan
makhluk. Mereka yang berkata bahwa Al-Qur’an makhluk berarti tidak beriman yang
akan jatuh ke neraka.[34]
Al-Quran menurut al-asyari adalah
qadim bukan makhluk, sebab kalau ia makhluk
sesuai dengan Al-Quran surat Al-nahl ayat 40 yang artinya :
“jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda: terjadilah ,maka ia
pun terjadi”.
Untuk menciptakan itu butuh kata kun,
dan untuk terciptanya kun ini oerlu kata kun yang lain, begitulah seterusnya
sehingga terdapat rentetan kun yang tidak berkesudahan, dan ini tidak mungkin.
Oleh karena itu al-Quran tidak mungkin di ciptakan[35]
.
c) Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelomok
ortodok ekstrim,terutama Zajiriah, yang meyatakan bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di Akhirat. Al Asyari yakin bahwa Allah
dapat dilihat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemugkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat
dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.[36]
Asyari berpendapat bahwa setiap yang ada
dapat di lihat. Kami juga tau dari wahyu-Nya bahwa kaum mukminin akan melihatnya
di hari akhir nanti. Sebagaimana dalam firman Allah dalam (QS. Al-qiyamah, 75:
22) yang Artinya:“Di hari itu wajah mereka (yang beriman )
akan berseri-seri melihat wajah Tuhan mereka”.
Banyak ayat dan hadits yang mirip dengan
itu. Namun demikian, Asyari mengatakan bahwa Dia dilihat oleh manusia itu tidak
memerlukan ruang, tempat,arah,bentuk atau saling tatap muka (seperti kita),
sebab itu mustahil[37].
Asyari yakin bahwa Allah dapat di lihat
diakhirat , tetapi tidak dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat
dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat di lihat atau bila
mana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Asyari berpendapat bahwa setiap yang ada
dapat di lihat. Kami juga tau dari wahyu-Nya bahwa kaum mukminin akan
melihatnya di hari akhir nanti. Sebagaimana dalam firman Allah dalam (QS.
Al-qiyamah, 75: 22) yang Atinya:
“Di hari itu wajah mereka (yang beriman ) akan
berseri-seri melihat wajah Tuhan mereka”.
Banyak ayat
dan hadits yang mirip dengan itu. Namun demikian, Asyari mengatakan bahwa Dia
dilihat oleh manusia itu tidak memerlukan ruang, tempat,arah,bentuk atau saling
tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil[38].
Asyari
yakin bahwa Allah dapat di lihat diakhirat , tetapi tidak dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan
dapat di lihat atau bila mana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.
d)
Kebebasan
dalam berkehendak (Free-will)
Menurut
al-asyari perbuatan manusia di
ciptakan tuhan, bukan di ciptakan manusia sendiri. Gambaran tentang hubungan
perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan di kemukakan dalam
teorinya di sebut al-kasb. Yang di maksud dengan al-kasb adalah “berbarengnya
perbuatan dengan kekuasaan tuhan”. Al-kasb
artinya keaktifan[39].
Al-Asy’ari
membedakan antar khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbutan manusia, sedangkan
manusia sendiri yang mengupyakannya (muktasib).
Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia).[40]
e) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun
Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
mereka berbeda dalam dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah mengutamakan akal.[41]
Aliran
As’Ariyah mengatakan bahwa syara’lah yang pertama-tama menentukan sifat baik
dan buruk. Akal tidak campur tangan dalam soal ini. Kalau sekiranya Syara’
memerintahkan bohong itu menjadi baik. Sebaliknya kalau sekiranya Syara’
melarang jujur tentu kejujuran akan menjadi buruk. Segala kewajiban datangnya
dari Syara’ dan akal tidak dapat mentapkan sesuat kewajiban. Aliran Asy’ariyah
lebih tepat dinamakan alira Formalist.[42]
f) Keadilan Tuhan
Asyari berpendapat bahwa allah tidak
mempunyai kewajiban apapun,tidak member pahala kepada orang yang taat ataupun
memberikan hukuman kepada orang yang berdosa[43].
Tetapi ,persoalan ini di serahkan kepada kehendak-Nya, apakah dia mau member
pahala atau hukuman kepada orang yang taat, atau member hukuman atau ampunan
kepada orang yang berdosa.
al-Ghazali menyebutkan bahwa tidak
menjadi persoalan bagi Allhsekiranya mengampuni semua orang yang kafir dan
menghukum orang yang mukmin. Hal semacam itu tidak mustahil bagi diri-Nya dan tidak bertentangan dengan
salah satusifat ketuhanan-Nya.
Pikiran-pikiran
Al-asyari seperti yang tercermin dalm ajaran-ajaran atau
kepercayaan-kepercayaan aliran asyariah
di atas kebanyakan merupakan jalan tengah antara golongan -golongan yang
saling berlawanan, atau antara aliran rasionalis dan aliran tekstualis.
Asy’ari berpendapat bahwa tidak ada
pencipta kecuali Allah. Orang yang sesat dan ingkar juga Allahlah penciptanya. Akal tidak
mempunyai atas segala sesuatu, karena ia tidak perlu membedakan antara yang
baik dan buruk. Dia tidak membuat hambanya menderita tanpa arah dan tujuan. Dia
melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya dan memutuskan apa saja yang di
inginkan-Nya.[44]
Al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang harus berbuat Adil sehingga
Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia
adalah Penguasa Mutlak.[45]
g) Kedudukan orang yang berdosa
Asy’Ariyah
berpendapat bahwa ”Tidak seorangpun dari mereka yang menghadapkan wajahnya
kearah Kiblat (maksudnya, kaum Muslim) boleh disebut ”kafir” karena dosa yang
dilakukannya sekalipun dosa itu sangat besar semisal berbuat zina. Pelaku dosa
jenis ini tidak mesti dijebloskan ke dalam neraka, dan tidak mesti pula seorang
monoteis dimasukan kedalam surga. Terserah Allah memasukan mereka ke manapun
Dia kehendaki. Dia kuasa memberi hukuman atau memberi ampunan kepada mereka”.[46]
Menurut al-asyari seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar
kemudian meninggal sebelum sempat bertaubat, tetap di hukumi mukmin, tidak
kafir tidak pula berada di tengah kafir dan mukmin, dan ni akhirat ada beberapa
kemungkinan: dia mendapat ampun dari Allah dengan rahmatNya sehinga pelaku dosa
besar tersebut di masukan kedalam syurga, atau dia mendapat syapaat dari Nabi Muhamad
saw[47].sebagaimana
sabdanya “syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar”.
h)
Mengenai hal-hal yang ghaib
Mengenai informasi yang di berikan
kepada kita dalam al-Quran tentang hal-hal ghaib, seperti fana,lauh, arsy,
kursi, surga
dan neraka , masih dipahami secara riteral saja, demikian pula mengimani
semuanya. Sama halnya mengenai informasi tentang hal-hal yang terjadi pada hari
di akhirat nanti,seperti pertanyaan di alam kubur, ganjaran dan siksaan di
dalamnya, mizan, hisab, syiratah, pembagian manusia pada dua kelompok, kelompok
yang masuk syurga dan yang masuk neraka: semua itu benar adanya, semuanya di
pahami secara literal saja[48]
[1] http://www.anakciremai.com/2009/04/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html.
[online diunduh tgl 15 April 2012]
[3] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan
Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995, Cet. II,Hal. 17
[4] Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu
kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.Hal.77
[7] Rojak Abdul, Anwar Rosihon, Op Cit, hal. 79
[8] Al Syaikh Muhammad Abu
Zahroh, Madhab-madhab dalam Islam, Terj.
Drs. H. Djauharuddin AR, Cet. I., Jakarta: CV Mulya Abadi, 1992
[11] Drs. H. Kahar Muzakar, Ilmu Tauhid/ Ilm Kalam, Cet. III, Foto
Copy Hegar, Bandung, 2004, Hal,31
[14] A. Hanafi, Theologi Islam,
Op. Cit. hal. 49
[16] Seyyed Hossein dan Oliver
Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Cet. I,( Mizan: Bandung, 2003), Hal. 152
[19]A. Hanafi, Op Cit. Hal 49
[21] Ibid.
[24] Hasan basri, Ilmu kalam
sejarah danpokok pikiran aliran-aliran,hlm, hlm 52
[25] Ibid,hal. 6
[29] Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, 1997, 181
[30] Rudi Arlan Al-farisihttp://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran
a syariyah.html2 (di unduh tgl 8 April 2012 sedia On Line)
[31] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta,1991.hal. 67-68
[32] A. Hanafi, Op Cit, hal
125-126
[35]Abu al-Hasan al-Asyari, op. cit., hal.
52-53
[36] A. Hanafi, Op Cit, hal
123
[37]Syahrastani, op.cit., hal. 124.
[38]Ibid
[39]Abu al-hasan al-asyari, al-ibanah an ushul al-dayanah,
(mesir: maktabah wa al-bayan, 1981). Lihat, YusranAsmuni, op. cit., hal.124.
[41] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor Jakarta, 1991, hal. 70
[42] A. Hanafi, Op Cit, hal
157
[43] Yusuf Musa, Al-Quran dan pilsafat,
(Trj. M. thalib,Yogyakarta: tiara wacana,1991), hal.135
[48]Syahrastani, op. cit., hal. 127
mantep abis kontennya. Bermanfaat
BalasHapus