Senin, 01 September 2014

TEOLOGI MU’TAZILAH DAN AL-AS’ARIYAH (SEJARAH DAN PEMIKIRANNYA)




A.    Teologi Mu’tazillah

1.      Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). [1]
Secara harfiah kata Mu’tazilah  berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.[2].
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[3]
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.[4]
Pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).”[5] Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[6]
C.A. Nallino, seorang orientalis Itali, mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya”. Sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al Bagdadi, danTasy Qubra Zaddah. Nama Mu’azilah diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral di antara khawarij dan murjiah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II  ini mempunyai hubungan yang erat dengan mu’tazilah I . pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I  yang disebut kaum netral politik.[7]
Dr. Ahmad Amin (alm) berkata dalam ktab Fajrul Islam:
 “Kami punya dugaan lain tentang penamaan mereka dengan Mu’tazilah, yaitu seperti apa yang kami baca dari pernyataan al-Muqrizi bahwa diantara sekte-sekte Yahudi yang terbesar pada masa itu dan sebelumnya ada sekte yang dinamakan al-Furusyum yang artinya Mu’tazilah. Sebagian menyebutkan bahwa sekte ini berbicara tentang taqdir. Maka tidak berlebihan jika kata Mu’tazilah ditujukan kepada kelompok orang Yahudi yang masuk Islam karena melihat kesamaan antar kedua kelompok.[8]

Kesamaan antara Mu’tazilah Yahudi dan Mu’tazilah Islam amat banyak, yang disebut pertama menafsirkan Taurat dengan logika sementara yang kedua mana’wilkan Al-Qur’an dengan logika juga. Al-Muqrizi berkata : “Al-Furusyum yang ia namai Mu’tazilah itu menafsirkan  Taurat sebagaimana para pendahulu mereka”.[9]
2.    Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazillah
a)      Wasil bin Atha (80-131). Wasil ban Atha al-Ghazal terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazillah, sekaligus pemimpin yang pertama. Dan ia juga terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip pemikiran Mu’tazillah yang rasional. Ia seorang ulama yang pertama kali menganjurkan aliran dan pahamnya yang terkenal di daerah Basyrah (Irak) pada permulaan abad ke II H.
Cabang Basyrah ini selain Washil bin ‘Atha sebagai tokohnya juga dibantu oleh :
a.             Umar bin Ubaed (W. 144 H) dan murid- muridnya seperti,
b.             Usman bin At-Ta’wil
c.             Hafsah bin Salim
d.            Hasan bin Zawan
e.             Khalid bin Safwan
d.      Ibrahim bin Yahya al-Madani
b)  Al-Allaf (135-235) H). Nama lengkapnya yaitu Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al- Allaf. Ia sebagai pemimpin Mu’tazillah yang kedua di Basrah. Ia banyak mempelajari filsafat yunani. karena pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi ahli debat. Golongan Zindiq(orang yang pura-pura masuk islam), dari kalangan Majusi, Zoroaster, maupun ateis yang tidak  bisa membantah argumentasinya.
c)      Syekh Hasan Basri (W. 110 H) Ulama besar dari Bagdad itu banyak yang berguru kepadanya dan di antara muridnya adalah Washil bin ‘Atha (80-131 H) karena itulah Washil bin ‘Atha dinamai kaum Mu’tazilah karena ia mengasingkan diri atau memisahkan diri dari gurunya. Pada suatu hari Hasan Basry (699-748 M) menerangkan masalah kedudukan mukmin dari kafir di akhirat nanti, katanya : ”Setiap orang Islam yang telah beriman dengan mengucapkan dua kalimah Syahadat, tetapi kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap sebagai muslim tetapi termasuk muslim yang durhaka.
d)            Bisyir Al-Mu’tamar (wafat 226 H) Ia merupaka aliran Mu’tazilah di Baghdad. Ia juga seorang tokoh yang membahas konsep tawallud yaitu batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya.
e)             An-Nazzham (184-221 H). ia adalah murid Abul Huzail Al-Allaf. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, yaitu tentang metode keraguan, dan metode Empirika yang merupakan cikal bakal renaissance (pembaharuan) di Eropa.
f)              Al-jubba’I (302 H) . Al-jubbai adalah guru imam Al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asy’ariyah.
g)             Al-Khayat (wafat 300 H) Abu al-Huseinal-khayyat termasuk tokoh Mu’tazillah Baghdad. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
h)             Al-Qodhi Abdul Jabbar (wafat 1024 H). Ia diangkat sebagai kepala hakim oleh ibnu abad. Al-Qadhi Abdul jabbar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazillah, ia mempunyai prestasi yang baik yang baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.
i)                      Az-Zamakhsyari (467-538 H). Nama lengkapnya adalah Jarullah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Ia dilahirkan didesa zamakhsyar, khawarizm, iran. Sebutan jarullah mempunyai arti yaitu tetangga Allah, ia terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir,nahwu, ( gramatika) paramasastra.


3.                     Akar Pemikiran  dan Ajaran Pokok Mu’tazilah

Mu’tazilah muncul dengan mengusung dua pemikiran yang baru, yaitu: 1) Manusia bebas memilih apa yang akan ia lakukan, dan manusia itu menciptakan perbuatan-perbuatan mereka sendiri, 2) Pelaku dosa besar bukanlah seorang muslim dan bukan juga seorang kafir, akan tetapi ia adalah seorang fasik dan berada di tempat diantara dua tempat (ini adalah keadaannya di dunia), sedangkan di akhirat ia kekal di neraka, tidak mengapa jika ia disebut muslim karena ia menampakkan Islam dan mengucapkan syahadatain, tetapi ia tidak disebut mukmin.[10]
Kemudian mereka membuat madzhab mereka menjadi 5 asas:

a )  Tauhid (Keesaan Allah)
Tauhid sebagai aqidah pokok dan yang pertama dalam Islam, bukan oleh mu’tazilah. Dalam prinsip keesaan (At-tauhid), benar-benar mempertahankan semurni-murninya, karena menghadapi golongan syiah rafidah yang ekstrim yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjisim dan bias diindera di samping golongan-golongan agama dualisme dan trinitas.[11]
Atas dasar prinsip ini mereka menyatakan kemungkinan untuk melihat Allah SWT pada hari kiamat sebagai kosekuensi dari sifat-Nya yang berposisi dan mengharap arah. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip tersebut bahwa tiada lain selain dzat yang qadim. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip tersebut bahwa sifat tiada lain selain dzat, maka jika tidak demikian akan berbilanglah dzat yang qadim. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip ini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah SWT, sebagai konsekuensi dari penolakan berhilangnya qadim dan sebagai penolakan atas sifat Kalam bagi Allah.[12]
Ajaran dasar yang terpenting bagi kaum Mu’tazilah adalah at-Tauhid atau ke-Mahaesaam Allah. Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha Esa jika Ia merupakan Zat yang unik, tiada ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu, kaum Mu’tazilah menolak paham Anthropomerphisme, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak paham Beautific Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah sifat qadim. paham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat Tuhan. Menurut paham ini tidak berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi kaum Mu’tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi itu tidak dapat dipisahkan dari dzat Tuhan, dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi dzat Tuhan. Adapun yang dimaksud kaum Mu’tazilah dengan pemisahan sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana pendapat golongan lain yang memandang bahwa sifat-sifat Tuhan sebagian esensi Tuhan dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu’tazilah paham ini mereka munculkan karena keinginan untuk memelihara ke Mahaesaan Tuhan.
b)      Al Adlu (Keadilan)
Jika dalam ajaran pertama kaum Mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan Dari persamaan dengan makhluk-Nya, maka ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang berbuat adil seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin berbuat zalim.
Dalam menafsirkan keadilan, mereka mengatakan sebagai berikut: “Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan sendiri segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan kodart (kekuasaan) yang dijadikan oleh Tuhan pada diri mereka. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia menghendaki kebaikan-kebaikan yang Ia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang dilarang”.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu golongan, Tuhan tidak bisa berbuat buruk karena perbuatan yang demikian hanya dilakukan oleh orang yang bersifat tidak sempurna, sedang Tuhan bersifat Maha Sempurna.
Mu’tazilah memperdalam arti keadilan dan menentukan batas-batasnya. Dasar keadilan yang dipegang ialah meletakan pertanggung jawaban manusia atas segala perbutannya dan dalam menafsirkan keadilan.[13]
Golongan Mu’tazilah menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut[14] :
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-nya dan meninggalkan larangan-larangan- Nya karena qodrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahka-Nya dan tidak tahu menah (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya”.
Dengan dasar keadilan ini mereka menolak pendapat golongan jabariyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman menjatuhkan siksa kepadanya.[15]


c)       Al Wa’du wal Waid (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan Tuhan. Kaum Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan akan menjatuhkan sikap kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak dikatakan adil jika Ia tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Pendirian ini bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tak mempunyai kaitan dengan pembalasan. Kalaua pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya. Hal yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu’tazilah mengingkari adanya syafa’at (pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa’at menurut mereka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.
Pengertian janji dan ancaman adalah kewajiban bagi Allah untuk memberikan pahala kepada orang yang taat sebagaimana telah dijanjikan-Nya dan keharusan Allah untuk memberikan hukuman kepada orang yang durhaka sebagaimana telah diancamkan-Nya.[16]
Mereka berkeyakinan bahwa janji dan ancaman akan terjadi, maka janji Allah (untuk memberi pahala) akan terjadi, begitu juga ancaman-Nya untuk (untuk menyiksa) akan terjadi. Maka orang yang berbuat baik akan dibalas dengan baik dan orang yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan. Tiada dosa besar yang diampuni tanpa taubat, sebagaimana tiada halangan bagi yang berbuat baik untuk menerima pahala. Hal ini merupakan satu jawaban terhadap orang murjiah yang mengatakan bahwa maksiat tidak mempengaruhi mereka iman, sebagaimana taat tidak mempengaruhi kekafiran. Andaikata pendapat ini benar, maka ancaman Allah itu non sekte. Maha suci Allah dari segala tuduhan mereka.[17]
d)       Al Manzilah baina Manzilataini (Tempat diantara dua tempat)
Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan. Pembuat dosa bukanlah kafir, karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna.
Karena bukan mukmin, para pembuat dosabesar tidak dapat masuk surga dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil mereka ditempatkan di antara surga dan neraka. Akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka mereka harus dimasukan kedalam salah satu tempat ini. Berdasarkan sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani, kaum Mu’tazilah lebih memperdalam pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut, sehingga menjadi prinsip dalam lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini nampak jelas dalam usaha mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
Pernyataan bahwa seorang muslim yang bermaksiat berada diantara kedudukan seorang mukmin dan seorang kafir, telah dijelaskan Asy-Syahrastani dalam kitab al-Milal wan Nihal. Ia berkata :
“Wasil bin Atha berkata bahwa iman adalah perilaku baik, apabila terdapat dalam diri seorang maka ia mukmin, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak berperilaku baik, ia tidak berhak dipuji dan ia tidak disebut mukmin,akan tetapi ia bukan kafir, karena ia bersyahadat dan berbuat baik, tidak ada bentuk pengingkaran, akan tetapi apabila ia mati dengan membawa dosa besar tanpa bertobat maka ia kekal di neraka; sebab di akhirat hanya ada dua golongan, yaitu ahli neraka dan ahli surga, namun siksaan orang tersebut diperingan”.[18]
Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut merupakan tolak belakang pendapat golongan Mur’jiah sebagaimana ketaatan tidak akan berguna di samping kekafiran. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya sama sekali, suatu hal yang mustahil ada pada Tuhan.[19]
Mengapa ia (kaum fasik) tidak dimasukkan ke surga kelas yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelekan dosa, terutama dosa besar. [20]
e)       Amar Ma’ruf nahi Munkar (Menyeru kepada kebaikan dan mencegah pada kemunkaran)
Mengenai hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongan-golongan umat islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya pada segi pelaksanaanya, apakah seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dengan dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapi sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah, mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi kaum Mu’tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus diluruskan. Karena keberanian dan keyakinan mereka dalam memegang hasil pemikiran akal, maka mereka hanya mau menerima dalil-dalil naqli yang bagi mereka sesuai dengan akal pikiran.
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang (Al-Amr Al-Ma’ruf  wa An Nahy an Munkar). Ajaran ini menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.[21]
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramal ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang  tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini[22] :
a.                 Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang mungkar.
b.                 Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang.
c.                 Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
d.                Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fikih daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memuat prinsip ini, antara lain surat Ali Imran ayat 104 dan Lukman ayat 17. prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat. Sejarah menunjukan betapa hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiy, yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap golongan-golongan Islam sendiri, sebagaimana yang pernah dialami golongan ahli Hadits dalam masalah Qur’an. Menurut orang Mu’tazilah orang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan.[23]
ereka.

4.                     Mu’tazilah Pada masa sekarang
Pada tahun 1869, pemikiran Mu’tazilah semakin mendapat tempat di benak para pemuda yang hanya bermodalkan semangat,kala itu bendera Mu’tazilah kembali di angkat oleh seorang reformernya Jamaluddin Al Ironiy Al afghoni. Kedatangannya ke Mesir benar-benar merusak aqidah para pemudanya, terlebih mahasiswa-mahasiswa Al Azhar di Kairo.
Muhammad Abduh bin Hasan At Turkumaniy, ia lahir di Mesir pada tahun 1849 juga slah seorang siswa Al-Azhar. Kemudian setelah menamatkan kuliahnya di Al-Azhar tahun 1877 dia dan Jamaluddin Al Afghoni yang telah menjadi gurunya serta tokoh-tokoh lainnya seperti Muhamad Rasyid Ridho, Muhammad Musthofa Al Maroghi, menjadi corong utama gerakan kaum rasionalis yang kemudian tulisan-tulisannya banyak di adopsi kaum muslimin dewasa ini. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 9-10).
Yang melekat sepanjang sejarah mewarnai gerakan sesat Mu’tazilah ini hingga kemudian nampak di masa sekarang adalah pengagungannya terhadap akal mengalahkan kedudukan naql, tak heran bila kemudian para ahli filsafat, ahli kalam, dan ahli mantiq banyak bercokol dalam gerakan ini, di antara pernyataan-pernyataannya:
  1. Akal adalah dalil yang paling pokok dan pondasinya.
  2. Akal mesti didahulukan di atas syariat (naql).
  3. Dalil-dalil akal bersifat yakiniyyah, pasti, melalui proses pengkajian yang dalam sehingga melahirkan pesan-pesan yang argumentatif.
  4. Pahala dan siksa tergantung pada hukum akal.
  5. Penilaian terhadap suatu perbuatan, baik atau buruk kembali pada akal.

Tak lama kemudian angina berhembus begitu kencang dari arah Turmudz, tepatnya di negeri Khorosan, membawa bid’ah baru di sela-sela guncangan bid’ah Mu’tazilah jahmiyyah,itulah bid’ah berikutnya yang mengoyak keutuhanajaran islam yang telah dijalani dan dieragakan manusia-manusia terbaik dari umat ini, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Berkat kiprah dan ulah sang jagoan debat dan ahli kalam Al Jahm bin Shafwan bid’ah ini tersebar, bahkan Allah tidak berbicara kepada Musa, Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat berbicara tidak dapat pula dapat dilihat, dan Allah AWJ tidak beristiwa di atas arsyNya. Agak nya gambaran radikalisme begitu melekat pada gerakan bid’ah ini, pimpinannya Jahm bin Shafwan pun dicap sebagai gembong pelaku kejahatan dan kerusakan, ia menyatukan tiga kebid’ahan di antara bid’ah-bid’ah lainnya.
  1. Ta’thil, meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan baginya Allah tidak boleh disifati dengan sifat apapun, karena menurutnya akan terjadi kesamaan dengan makhluk-Nya.
  2. Al Jabr, menurutnya manusia tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun, tidak disifati dengan sifat kemampuan, akan tetapi manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya, tidak diberikan kemampuan, keinginan, dan ikhtiyar/pilihan.
  3. Al Irja, menurutnya Iman adalah m’rifat, tidak akan berkurang dan tidak bertingkat-tingkat. (Al Milal wan Nihal: 1/86-88, Al Farqu bainal Firaq: 211).

Para salaf mengkategorikan pernyataan Jahm ini sebagai pernyatan-pernyataan kufur. Al Jahm bin Shafwan, di samping kesesatan-kesesatannya yang telah kita sebutkan, ia juga seorang tokoh pemberontak. Al Jahm bersama Suraij bin Harits memberontak emerintahannya, kemudian Nasher bin Sayaar memerintahkan Salim bin Ahwaz sebagai panglima perangnya berikut beberapa pasukan utuk menghadangnya. Akhirnya Salim bin Ahwaz berhasil membunuhnya di akhir masa Bani Marwah. (Al Farqu bainal Firaq: 36 dan 212).
Terkadang telah dikira baha Jamiyyah telah lenyap ditelan masa, padahal Mu’tazilah adalah cabang dari (bid’ahnya) Jahmiyyah, dan Mu’tazilah sangatlah banyak (sekarang ini), lagipula orang-orang menisbatkan kepada faham asy’ariyah pun dalam banyak permasalahan merujuk kepada madzhab Jahmiyyah. (Tarikh Jahmiyyah wal Mu’tazilah: 6, dari Maufiq Ahlissunnah: 156).
Jahmiyyah dalam meniadakan sifat-sifat Allah bertolak dari akal. (Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah: 21). Ini semua menunjukan bahwa model-model pemikiran Jahmiyyah masih tetap ada hingga hari ini di zaman kita ini.
  1. Teologi Asy- Ariyah
a.         Latar Belakang Munculnya Aliran Asy- ‘Ariyah

Asy’ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al Asy’ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. bertepatan dengan tahun 935 M. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun.
Aliran asy’ariyah berkembang dibasrah (irak) kira-kira pada tahun 300 H.Pendirinya adalah Abu Hasan Ali Bin Ismail Al-Asy’ari. Pada mulanya seorang pengikut aliran mu’tazilah yang terkemuka.ia keluar dari aliran mu’tazilah karena ada beberapa sebab,antara lain karena ia merasa tidak puas dengan jawaban gurunya,yaitu Al-jubba’i atas pertanyaannya mengenai persoalan mukmin ,kafir dan anak kecil.
Al Asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.
MenurutIbnu Asakir yang melatarbelakangi Al Asyari meninggalkan faham mu’tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rosulullah sebanyak tiga kali, dimana Rosulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu’tazilah dan membela faham yang diriwayatkan dari beliau.[24]
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang mu’tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai  berusia 40 tahun, dan tidak sedikitnya dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.[25]
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-‘Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-‘Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat,  ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Al- Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik ayahnya mendidik ‘Asy’ari. Ibu Al-‘Asy’ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Aj-Juba’i (w.321H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-‘Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya (Mu’tazilah).[26]
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jam’ah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjuk keburuka-keburukannya.[27]Ia berkata:
“Wahai manusia.....orang yang mengenalku pasti tahu dan orang yang belum mengenlku aku akan memperkenalkanku diriku padanya. Aku fulan bin fulan. Aku menyatakan bahwa Qur’an dalah makhluk dan Allah kita melihat  dengan mata, dan perbuatan jelek adalah perbuatan yang aku lakukan, dan aku kini bertobat dan menanggalkan pakaianku untuk mu’tazilah dan akan membuka aib mereka. Wahai manusia ! Aku absen dari kalian beberapa waktu ini, karena aku meneliti dan mencari tetapi tidak ada sesuatu yang aku dapatkan, maka aku mohon petunjuk kepada Allah, kemudian ia menunjukan kepadaku kepada keyakinan yang dititipkan kepada kitabku ini. Maka aku tanggalkan semua yang pernah aku yakini seperti aku tanggalkan pakaianku ini. Kemudian menganjurkan manusia kepada apa yang ia tulis berdasarkan metode ahli fiqih dan hadits.[28]

Bahwa pengaruh aliran muta’zilah mencapai puncaknya pada zaman khalifah al-ma’mun,setelah al-ma’mun menjadikan aliran muta’zilah sebagai aliran teologi resmi negara.  Dengan memanfaatkan kekuasaan pemerintah,kaum muta’zilah memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi rakyat agar menerima ajaran-ajarannya.namun banyak orang yang menentang ajaranya,akibatnya harus menjalani hukuman penjara.setelah Al-Mutawakkil berkuasa,pemakaian aliran mu’tazilah sebagai aliran resmi di hapuskan.sejak itu pengaruh aliran mu’tazilah mulai menurun.lawan-lawan muta’zilah menjadi banyak, terutama Jabariah dari kalangan rakyat biasa yang tidak dapat menyelami ajaran-ajaran mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis.rakyat biasa dengan pemikirannya yang sederhana,ingin ajaran-ajaran yang sederhana pula.
Nama tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain :
a.      Al Baqilani (wafat 403 H)
b.     Ibnu Faruak (wafat 406 H)
c.      Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
d.     Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
e.      Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
f.      Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
g.     Al Ghazali (wafat 505 H)
h.     Ibnu Tumart (wafat 524 H)
i.       As Syihristani (wafat 548)
j.       Ar Razi (1149-1209 M)
k.     Al Iji (wafat 756 H)
l.       Al Sanusi (wafat 895)

Abu musa al-asyari diberi gelar pencipta ikatan ahlusunah wal jamaah,hampir semua ulama jumur menggambungkan diri kedalam ikatan ini dan mengambil konsepsi Asy’ariyah menjati pokok-pokok keyakinannya. Konsepsi tersebut mewajibkan kita beriman dengan qada dan qadratnya, baik-buruknya ,manis-pahitnya, semua dari Alllah, dan kami mengakui bahwa Quran itu kalamullah bukan makhluk, barang siapa mengatakan Quran itu makhluk berarti kafir.[29] 
Pemikiran formulasi Al asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodokx ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi.
Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M).
b.        Akar Pemikiran  dan Ajaran Pokok Asy- ‘Ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah :
a)      Tuhan dan sifat-sifatnya
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain. [30]
Al-Asyari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[31]
b)      Qadimnya Al-Qur’an itu
Assyihristany dan Ahmad Amin, Imam Asy’ari membagi perkataan Tuhan kepada dua bagian, yaitu[32] :
1)            perkataan yang ada pada zat-Nya (Kalam nafsy). Sifat ini adalah sifat zat dan qadim.
2)            Perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini baru dan makhluk (diadakan)
Akan tetapi dalam kitab yang lain, yaitu Al-Ibanah, Asy-Asy’ary lebih condong kepada Ibn Hambal, karena ia dengan jelas menyatakan bahwa perkataan Tuhan tidak makhluk, baik berupa kata-kata ataupun bukan, Al-Asy’ari berkata, ”tidak satu bagianpun dari Qur’an makhluk.”[33]
Al-Asy’ari berpendapat bahwa ”berkata adalah positif. Kalam Allah itu bersifat spiritual, tidak seperti cinta dan benci. Al-Qur’an adalah firman Tuhan dan ia bukan makhluk. Mereka yang berkata bahwa Al-Qur’an makhluk berarti tidak beriman yang akan jatuh ke neraka.[34]
Al-Quran menurut al-asyari adalah qadim bukan makhluk, sebab kalau ia makhluk  sesuai dengan Al-Quran surat Al-nahl ayat 40 yang artinya :
“jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda: terjadilah ,maka ia pun terjadi”.

Untuk menciptakan itu butuh kata kun, dan untuk terciptanya kun ini oerlu kata kun yang lain, begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kun yang tidak berkesudahan, dan ini tidak mungkin. Oleh karena itu al-Quran tidak mungkin di ciptakan[35] .
c)      Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelomok ortodok ekstrim,terutama Zajiriah, yang meyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di Akhirat. Al Asyari yakin bahwa Allah dapat dilihat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemugkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[36]
Asyari berpendapat bahwa setiap yang ada dapat di lihat. Kami juga tau dari wahyu-Nya bahwa kaum mukminin akan melihatnya di hari akhir nanti. Sebagaimana dalam firman Allah dalam (QS. Al-qiyamah, 75: 22) yang Artinya:“Di hari itu wajah mereka (yang beriman ) akan berseri-seri melihat wajah Tuhan mereka”.
Banyak ayat dan hadits yang mirip dengan itu. Namun demikian, Asyari mengatakan bahwa Dia dilihat oleh manusia itu tidak memerlukan ruang, tempat,arah,bentuk atau saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil[37].
Asyari yakin bahwa Allah dapat di lihat diakhirat , tetapi tidak dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat di lihat atau bila mana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Asyari berpendapat bahwa setiap yang ada dapat di lihat. Kami juga tau dari wahyu-Nya bahwa kaum mukminin akan melihatnya di hari akhir nanti. Sebagaimana dalam firman Allah dalam (QS. Al-qiyamah, 75: 22) yang Atinya:
“Di hari itu wajah mereka (yang beriman ) akan berseri-seri melihat wajah Tuhan mereka”.

Banyak ayat dan hadits yang mirip dengan itu. Namun demikian, Asyari mengatakan bahwa Dia dilihat oleh manusia itu tidak memerlukan ruang, tempat,arah,bentuk atau saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil[38].
Asyari yakin bahwa Allah dapat di lihat diakhirat , tetapi tidak dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat di lihat atau bila mana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
d)     Kebebasan dalam berkehendak (Free-will)
Menurut al-asyari  perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan manusia sendiri. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan di kemukakan dalam teorinya di sebut al-kasb. Yang di maksud dengan al-kasb adalah  “berbarengnya perbuatan dengan kekuasaan tuhan”. Al-kasb artinya keaktifan[39].
Al-Asy’ari membedakan antar khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbutan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupyakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[40]
e)      Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.[41]
Aliran As’Ariyah mengatakan bahwa syara’lah yang pertama-tama menentukan sifat baik dan buruk. Akal tidak campur tangan dalam soal ini. Kalau sekiranya Syara’ memerintahkan bohong itu menjadi baik. Sebaliknya kalau sekiranya Syara’ melarang jujur tentu kejujuran akan menjadi buruk. Segala kewajiban datangnya dari Syara’ dan akal tidak dapat mentapkan sesuat kewajiban. Aliran Asy’ariyah lebih tepat dinamakan alira Formalist.[42]
f)       Keadilan Tuhan
Asyari berpendapat bahwa allah tidak mempunyai kewajiban apapun,tidak member pahala kepada orang yang taat ataupun memberikan hukuman kepada orang yang berdosa[43]. Tetapi ,persoalan ini di serahkan kepada kehendak-Nya, apakah dia mau member pahala atau hukuman kepada orang yang taat, atau member hukuman atau ampunan kepada orang yang berdosa.
al-Ghazali menyebutkan bahwa tidak menjadi persoalan bagi Allhsekiranya mengampuni semua orang yang kafir dan menghukum orang yang mukmin. Hal semacam itu tidak mustahil bagi diri-Nya dan tidak bertentangan dengan salah satusifat ketuhanan-Nya.
Pikiran-pikiran Al-asyari seperti yang tercermin dalm ajaran-ajaran atau kepercayaan-kepercayaan aliran asyariah  di atas kebanyakan merupakan jalan tengah antara golongan -golongan yang saling berlawanan, atau antara aliran rasionalis dan aliran tekstualis.
      Asy’ari berpendapat bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah. Orang yang sesat dan ingkar   juga Allahlah penciptanya. Akal tidak mempunyai atas segala sesuatu, karena ia tidak perlu membedakan antara yang baik dan buruk. Dia tidak membuat hambanya menderita tanpa arah dan tujuan. Dia melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya dan memutuskan apa saja yang di inginkan-Nya.[44] Al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang harus berbuat Adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak.[45]
g)      Kedudukan orang yang berdosa
      Asy’Ariyah berpendapat bahwa ”Tidak seorangpun dari mereka yang menghadapkan wajahnya kearah Kiblat (maksudnya, kaum Muslim) boleh disebut ”kafir” karena dosa yang dilakukannya sekalipun dosa itu sangat besar semisal berbuat zina. Pelaku dosa jenis ini tidak mesti dijebloskan ke dalam neraka, dan tidak mesti pula seorang monoteis dimasukan kedalam surga. Terserah Allah memasukan mereka ke manapun Dia kehendaki. Dia kuasa memberi hukuman atau memberi ampunan kepada mereka”.[46]
      Menurut al-asyari seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar kemudian meninggal sebelum sempat bertaubat, tetap di hukumi mukmin, tidak kafir tidak pula berada di tengah kafir dan mukmin, dan ni akhirat ada beberapa kemungkinan: dia mendapat ampun dari Allah dengan rahmatNya sehinga pelaku dosa besar tersebut di masukan kedalam syurga, atau dia mendapat syapaat dari Nabi Muhamad saw[47].sebagaimana sabdanya “syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar”.
h)      Mengenai hal-hal yang ghaib
Mengenai informasi yang di berikan kepada kita dalam al-Quran tentang hal-hal ghaib, seperti fana,lauh, arsy, kursi, surga dan neraka , masih dipahami secara riteral saja, demikian pula mengimani semuanya. Sama halnya mengenai informasi tentang hal-hal yang terjadi pada hari di akhirat nanti,seperti pertanyaan di alam kubur, ganjaran dan siksaan di dalamnya, mizan, hisab, syiratah, pembagian manusia pada dua kelompok, kelompok yang masuk syurga dan yang masuk neraka: semua itu benar adanya, semuanya di pahami secara literal saja[48]




[2] Luwis Ma’lum fi Lugoh, Darul Kitab Al-Arabi, Cet.X,Beirut,t.t,Hlm. 207
[3] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995, Cet. II,Hal. 17
[4] Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.Hal.77
[5] Ibid,hal. 77
[6] Muhammad bin Abd. Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal,tp., Kairo1951,hlm 48
[7] Rojak Abdul, Anwar Rosihon, Op  Cit, hal. 79
[8] Al Syaikh Muhammad Abu Zahroh, Madhab-madhab dalam Islam,  Terj. Drs. H. Djauharuddin AR, Cet. I., Jakarta: CV Mulya Abadi, 1992
[9] Al Syaikh Muhammad Abu Zahroh,, Loc. Cit.
[10] http://agama.kompasiana.com/2011/02/07/mutazilah/ (On Line di unduh tgl 28 April 2012)

[11] Drs. H. Kahar Muzakar, Ilmu Tauhid/ Ilm Kalam, Cet. III, Foto Copy Hegar, Bandung, 2004, Hal,31
[12] Al Syaikh Muhammad Abu Zahroh,, Op. Cit. Hal. 120
[13] Drs. H. Kahar Muzakar, Op Cit, hal. 32
[14] A. Hanafi, Theologi Islam, Op. Cit.  hal. 49
[15] A. Hanafi, Loc  Cit
[16] Seyyed Hossein dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Cet. I,( Mizan: Bandung, 2003), Hal. 152
[17] Al Syaikh Muhammad Abu Zahroh,, Op. Cit. Hal. 121
[18] Ibid.
[19]A. Hanafi, Op  Cit. Hal 49
[20]Rojak Abdul, Anwar Rosihon Op  Cit. Hal 86
[21] Ibid.
[22] Ibid, hal. 86-87
[23] A. Hanafi, Op  Cit. Hal 51
[24]  Hasan basri, Ilmu kalam sejarah danpokok pikiran aliran-aliran,hlm, hlm 52
[25] Ibid,hal. 6
[26] Rojak Abdul, Anwar Rosihon Op  Cit. Hal 120
[27] ibid
[28] Al Syaikh Muhammad Abu Zahroh,, Op. Cit. Hal. 153
[29] Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, 1997, 181
[30] Rudi Arlan Al-farisihttp://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran a syariyah.html2 (di unduh tgl 8 April 2012 sedia On Line)

[31] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1991.hal. 67-68
[32] A. Hanafi, Op Cit, hal 125-126
[33] Ibid, Op Cit, hal 127
[34] Seyyed Hossein dan Oliver Leaman,Op Cit. Hal. 168
[35]Abu al-Hasan al-Asyari, op. cit., hal. 52-53
[36] A. Hanafi, Op Cit, hal 123
[37]Syahrastani, op.cit., hal. 124.
[38]Ibid
[39]Abu al-hasan al-asyari, al-ibanah an ushul al-dayanah, (mesir: maktabah wa al-bayan, 1981). Lihat, YusranAsmuni, op. cit., hal.124.
[40] Ibid.
[41] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor Jakarta, 1991, hal. 70
[42] A. Hanafi, Op Cit, hal 157
[43] Yusuf Musa, Al-Quran dan pilsafat, (Trj. M. thalib,Yogyakarta: tiara wacana,1991), hal.135
[44] Seyyed Hossein dan Oliver Leaman,Op Cit. Hal. 162
[45] Rojak Abdul, Anwar Rosihon Op  Cit. Hal 123
[46] Seyyed Hossein dan Oliver Leaman,Op Cit. Hal. 162
[47]Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, 1997, hal. hal.180
[48]Syahrastani, op. cit., hal. 127

1 komentar: