Senin, 01 September 2014

PONDOK PESANTREN DI INDONESIA




A.    Pengertian Pondok Pesantren dan Latar Belakang Berdirinya Pesantren
       Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian tentang pondok pesantren, menurut M. Yacub (1993: 65), bahwa pondok pesantren bermula dari asal dua kata yaitu “pondok” dan “pesantren”. Sedangkan pondok berasal dari istilah “funduk” berasal dari bahasa Arab yang artinya hotel atau asrama. Sedang pesantren berasal dari kata “santri” yang memakai awalan “pe” dan akhiran ‘an” yang berarti tempat tinggal para santri.
       Zamakhsyari Dhofir (1985:hal.18) mengemukakan bahwa pondok berasal dari bahasa Arab, “funduq” yang berarti hotel atau asrama.  Sedangkan pesantren berasal dari kata santri (dengan awalan pe- dan akhiran –an), kemudian dijelaskan oleh C.C. Breeg. Istilah santri berasal dari kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama.
       Dilihat dari fungsi dan kemanfaatan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cirri yang khas, maka di daerah lain (luar Jawa) hidup lembaga pendidikan Islam yang mempunyai fungsi dan kemanfaatan yang sama dengan nama yang berbeda, misalnya meunasah di Aceh, Surau di Sumatera, rangkang di Kalimantan. Bahkan menurut para ahli lain dikenal dengan sebutan zawiyah dimana letak bangunannya terpencil dari pusat keramian dan sistem belajarnya melingkar yang sekarang dikenal dengan sistem bandongan.
       Marwan Sarijo (1978 :  9) mengatakan pesantren adalah lembaga pendidikan yang memberikan  pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem  bandongan, sorogan, dan wetonanan. Secara definitive, Imam Zarkasyi  mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kiayi sebagai figur sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan Kyai yang diikuti sebagai kegiatan utamanya. (Drs H. Rohadi Abdul Fatah : 11)
       Dari beberapa pendapat diatas, pengertian pondok pesantren bisa dipahami sebagai tempat atau pemondokan para santri untuk mencari ilmu agama Islam secara mendalam dengan sistem  bandongan, sorogan, dan wetonanan, dimana kyai sebagai figur sentralnya.
       Sejarah proses tipologi berdirinya pondok pesantren sangatlah sederhana. Kegiatan pengajian diselengarakan di dalam surau (mushola), atau masjid oleh pengasuhnya (kyai) sebagai guru dengan beberapa orang santri sebagai muridnya. Kyai tadi biasnya sudah pernah bermukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam di Mekah atau Madinah. Atau pernah berguru pada seorang Wali atau kyai terkenal di nusantara. Kemudian ia bermukim di suatu desa dengan mendirikan surau atau langgar yang diperguakan sebagai tempat shalat. (MU YAPPI, 2008: 24)
       Latar belakang berdirinya pondok pesantren tidak lepas dari awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau jawa. Ada pendapat yang mengatakan, pesantren pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah ulama yang berasal dari Gujarat, India agaknya tidak sulit baginya untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah ada perguruan Hindu-Budha dengan sistem biara asrama sebagai tempat belajar mengajar. Dan mempunyai persamaan dengan pendidikan di India. (Drs. Rohadi Abdul Fatah, M.Ag,dkk, 2008:14)
       Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti sesugguhnya adalah Raden Rahmat atau sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu itu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu : Wiryo Suroso, Abu Hurarah, dan kyai Bangkuning. (Drs. Rohadi Abdul Fatah, M.Ag,dkk, 2008:14)
       Pendapat kedua, bahwa sistem pendidikan pondok pesantren tidak lain adalah berasal dari tradisi Islam itu sendiri. Mahmud Junus, misalnya mengemukakan bahwa model pembelajaran individual seperti sorogan, serta sistem pengajaran dimulai dengan belajar tata bahasa Arab ditemukan juga di Baghdah (Irak) ketika menjadi pusat ibu kota pemerintahan Islam. (MU YAPPI, 2008: 28)
       Pesantren di Indonesia tumbuh dan berembang sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah  pemerintah pemerintah kolonial Belanda,1831 di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Kemudian suatu survey yang diselenggarakan oleh kantor Shumubu (KUA) pad masa Jepang tahun 1942 jumlah pesantren bertambah menjdi 1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlah dengan pesantren di luar jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah, berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.312 buah. (WWW.depag.net.id)
B.     TUJUAN PENDIDIKAN PESANTREN
      Tak dapat dipungkiri lagi bahwa pondok pesantren telah mempunyai andil dalam penyebaran Islam dan dakwah Islam. Namun untuk menggambarkan tujuan pendidikan pesantren secara pasti dan seragam adalah sangat sulit, karena pesantren mempunyai tujuannya masing secara eksplisit.
      Hal ini ada hubungannya dengan sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya di mana kyai mengajar dan santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah lillahita’ala, dan tidak pernah dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi kepegawaian. (Drs. H. Rohadian Abdul Fatah, M.Ag.,dkk, 2008: 19)
       Secara lebih luas Mastuhu (1999: 80-81} berpendapat bahwa tujuan pendidikan pesantren diantaranya adalah:
a.       Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam.
b.      Memiliki kebebasan yang terpimpin.
c.       Berkemampuan mengatur diri sendiri.
d.      Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
e.       Menghormati orang tua dan guru.
f.       Cinta kepada ilmu.
g.      Kemandirian.
h.      Kebersahajaan.
      Tujuan didirikannya pesantren menurut M. Arifin (1995: 248) pada dasarnya terbagi menjadi dua hal, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan Khususnya adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam agama yang diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat . Sedangkan tujuan umumnya adalah membimbing anak didikya untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi menjadi mubaligh Islam dalam masyaratkat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan pesantren Drs. H. Rohadian Abdul Fatah, M.Ag.,dkk (2008: 21) berpendapat bahwa bagi pesantren baru yang lebih modern biasanya telah merumuskan tujuannya dalam bentuk visi dan misi pesantren, rumusan biasanya sekitar hal-hal berikut :
a.       Membangun masyarakat melalui pendidikan
b.      Dakwah Islamiyah
c.       Mempersiapkan generasi  muda muslim dengan membekali mereka pengetahuan agama dan umum.
       Dari beberapa pendapat diatas jelaslah bahwa pesantren mempunyai tujuan untuk mempersiapkan santrinya mempunyai ilmu agama Islam dan dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan tujuan utama pendidikan dalam pesantren adalah untuk penyebaran dakwah dan penyiaran Islam. Hal ini dapat kita ketahui dari sejarah berdirinya pesantren-pesantren pada generasi awal dimana tujuan para kyai mendirikan pesantren adalah sebagai tempat mensyiarkan agama Islam dan menyiapkan guru-guru yang akan meneruskan usaha kyai di kalangan umat.

C.    UNSUR-UNSUR POKOK DALAM PESANTREN
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

1)      Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).

2)      Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49). Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin  mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid.  Masjid terletak dekat atau di belakang guru kyai.

3)      Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

4)      Pondok
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).
5)      Kitab-Kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50),  “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).
           
D.      SISTEM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN DI PESANTREN
Sistem pengajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyampaikan tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren, ajaran adalah yang terdapat dalam kitab-kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi yang dipegang oleh pondok pesantren tersebut. (Mu Yapi, 2008:62)
Pondok pesantern memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan atau bandungan (menurut istilah dari Jawa Barat). (Dra. Hj. Enung K Rukiati dan Dra. Fenti Hikawati, 2006 : 106)
Sistem pengajaran bandongan adalah sistem pengajaran yang dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz yang telah diakui kapabilitasnya terhadap santri untuk mendengaran dan menyimak apa yang dibacakannya dari sebuah kitab kuning. Sang kyiai  akan membacakan kalimat per kalimat, menerjemahkan, dan menjelaskan isi kitab.
Sedang para santri mendengar apa yang dikatakan  sang kyai dan mencatat simbol-simbol kedudukan kata, arti kata-kata langsung di bawah kata yang dimaksud, dan penjelasan-penjelasan sang kyai yang dianggap penting dan dapat mempermudah memahami isi kitab. (Mu Yapi, 2008:63)
Dengan metode bandungan atau halaqoh dan sering juga disebut wetonan, para santri duduk di sekitar kyai dengan membentuk lingkaran. Kyai maupn santri dalam halaqah tersebut memegang kitab masing-masing. Kyai membacakan teks kitab, kemudian menerjemahkannya kata demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan penjelasan kyai. Kemudian, santri mengulang dan mempelajari kembali secara sendiri-sendiri (Mahmud Yunus, 1985: 58)  
Pengajaran dengan sistem bandongan ini kemudian dilanjutkan dengan sistem pengajaran sorogan. Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar per kepala yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kyai. Dengan cara ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kyai yang disebut “badal”. (Dra. Hj. Enung K Rukiati dan Dra. Fenti Hikawati, 2006 : 106)
Sistem pengajaran yang lain adalah hafalan. Sistem ini telah menjadi salah satu cirri yang melekat pada sistem pengajaran tradisional, termasuk pondok pesantren. Pada satu sisi hal ini sangat penting pada sistem keilmuan yang lebih mengandalkan dan mengutamakan argumen naqli, tranmisi, dan periwayatan (normatif). (Mu Yapi, 2008:65)
Selanjutnya sistem pengajaran yang dilakukan di pesantren adalah sistem pengajaran musyawarah. Sistem pengajaran ini lebih mirip dengan diskusi atau semiar yang ditujukan kepada santri senior atau santri tingkat tinggi. Beberapa orang santri senior berkumpul membentuk lingkaran dengan dipimpin oleh seorang kyai untuk membahas masalah-masalah tertentu. (Mu Yapi, 2008:66)

E. TIPOLOGI PONDOK PESANTREN
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti sebagai pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren yang tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dar masyarakat untuk masyarakat.(Bahri Ghajali, 2003:13)
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam  masyarakat, yang meliputi:

1)      Pondok pesantren tradisional
      Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama  abad ke 15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem “halaq” yang dilaksanan dimasjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan yang memiliki ilmu. (Mastuhu, 1994: 157)
      Artinya ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong). (Bahri Ghajali, 2003:14)
2)      Pondok pesantren modern
      Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai coordinator pelaksanakan proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal. (Bahri Ghajali, 2003:14)
3)      Pondok pesantren Komprehensif
      Pondok pesantren ini disebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan weweton, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan keterampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua (Marwan Saridjo, 1980: 9-10) .  Lebih jauh daripada itu pendidikan masyarakat pun menjadi garapannya. Dalam arti yang sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa pondok pesantren telah berkiprah dalam pembangunan social kemasyarakatan (M. Dawam, 1988: 15)

D. NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN PEMIKIRAN DALAM PESANTREN
       Pilihan pada bidang pendidikan yang digeluti  selama ini tak lepas dari pemahaman komunitas pesantren tentang Islam. Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang secara langsung maupun tidak langsung berbicara tentang pendidikan seperti surat al-Alaq (96): 1-5.
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
Artinya:
1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5.  Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
       Ayat di atas isinya penuh dengan muatan pendidikan yang sangat mendasar. Dalam surat ini tampak jelas, tegas, dan lugas perintah Allah untuk membaca. Membaca secara harfiyah maupun maknawiyah merupakan sebuah aktivitas pendidikan yang sangat penting. Sementara itu Nabi Muhammad memberikan keteladanan yang sangat baik tentang tata cara bermoral dan beretika.
Gagasan pokok yang dijadikan dasar dalam pengembangan nilai-nilai pesantren dalam pendidikan Islam yaitu agar menjadikan jalan bagi seorang muslim yang bertaqwa,  berakhlak mulia, dan sebagai warga yang baik, sanggup menyesuaikan diri di dalam masyarakat, bertanggung jawab, memiliki ketrampilan, kemampuan pengetahuan yang baik, di bidang pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Keunikan yang terdapat di pesantren ialah sistem nilai yang dimainkan sebagaimana yang diinginkan komunitas pesantren demi kepentingan masyarakat pada umumnya. Sistem nilai pesantren menggunakan nilai-nilai barokah sebagaimana diungkapkan Abdurrahman Wachid (1999:18) nilai yang dilestarikan pondok pesantren adalah doktrin barokah yang merupakan pancaran kyai atau ulama pada Sedang menurut Nurcholis Majid (1997: 20) sistem nilai yang digunakan pesantren ialah yang berakar dari agama Islam.
Nilai-nilai yang dikembangkan di pesantren adalah nilai-nilai moralitas yang dikembangkan dari kaidah-kaidah Islam untuk mensucikan dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela sebagai ajaran dasar Islam dan juga jalan untuk memperoleh kedekatan dan keridloan Allah.
Nilai-nilai ini tidak dapat dihasilkan oleh lembaga-lembaga lainnya, hanya di pesantren sendiri yang menghasilkan nilai-nilai akhlak yang dapat dirasakan oleh kalangan santrinya. Esensi moralitas mencerminkan ketauhidan kepada Allah Swt, sehingga jelaslah pesantren dapat bertahan untuk mendidik, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam, dan lebih dari itu pesantren mampu membentuk manusia yang mempunyai moralitas.


























1 komentar: