A.
Pengertian Pondok Pesantren dan Latar Belakang Berdirinya Pesantren
Terdapat
beberapa pendapat mengenai pengertian tentang pondok pesantren, menurut M. Yacub (1993: 65), bahwa pondok pesantren bermula dari asal dua
kata yaitu “pondok” dan “pesantren”. Sedangkan pondok berasal dari istilah “funduk”
berasal dari bahasa Arab yang artinya hotel atau asrama. Sedang pesantren
berasal dari kata “santri” yang memakai awalan “pe” dan akhiran ‘an” yang
berarti tempat tinggal para santri.
Zamakhsyari Dhofir
(1985:hal.18) mengemukakan bahwa pondok berasal dari bahasa Arab, “funduq” yang
berarti hotel atau asrama. Sedangkan
pesantren berasal dari kata santri (dengan awalan pe- dan akhiran –an),
kemudian dijelaskan oleh C.C. Breeg. Istilah santri berasal dari kata shastri, yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama.
Dilihat dari fungsi dan
kemanfaatan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cirri yang
khas, maka di daerah lain (luar Jawa) hidup lembaga pendidikan Islam yang
mempunyai fungsi dan kemanfaatan yang sama dengan nama yang berbeda, misalnya meunasah di Aceh, Surau di Sumatera, rangkang di
Kalimantan. Bahkan menurut para ahli lain
dikenal dengan sebutan zawiyah dimana
letak bangunannya terpencil dari pusat keramian dan sistem belajarnya melingkar
yang sekarang dikenal dengan sistem bandongan.
Marwan Sarijo (1978
: 9) mengatakan pesantren adalah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan
dan pengajaran agama Islam dengan sistem
bandongan, sorogan, dan wetonanan.
Secara definitive, Imam Zarkasyi mengartikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kiayi sebagai figur
sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama
Islam dibawah bimbingan Kyai yang diikuti sebagai kegiatan utamanya. (Drs H.
Rohadi Abdul Fatah : 11)
Dari beberapa pendapat
diatas, pengertian pondok pesantren bisa dipahami sebagai tempat atau
pemondokan para santri untuk mencari ilmu agama Islam secara mendalam dengan
sistem bandongan, sorogan, dan wetonanan, dimana kyai sebagai figur
sentralnya.
Sejarah proses tipologi
berdirinya pondok pesantren sangatlah sederhana. Kegiatan pengajian
diselengarakan di dalam surau (mushola), atau masjid oleh pengasuhnya (kyai)
sebagai guru dengan beberapa orang santri sebagai muridnya. Kyai tadi biasnya
sudah pernah bermukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan
agama Islam di Mekah atau Madinah. Atau pernah berguru pada seorang Wali atau kyai
terkenal di nusantara. Kemudian ia bermukim di suatu desa dengan mendirikan
surau atau langgar yang diperguakan sebagai tempat shalat. (MU YAPPI, 2008: 24)
Latar belakang
berdirinya pondok pesantren tidak lepas dari awal penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di pulau jawa. Ada
pendapat yang mengatakan, pesantren pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana
Malik Ibrahim. Beliau adalah ulama yang berasal dari Gujarat, India
agaknya tidak sulit baginya untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah
ada perguruan Hindu-Budha dengan sistem biara asrama sebagai tempat belajar
mengajar. Dan mempunyai persamaan dengan pendidikan di India. (Drs. Rohadi Abdul Fatah,
M.Ag,dkk, 2008:14)
Meski begitu, tokoh yang
dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti sesugguhnya
adalah Raden Rahmat atau sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren di Kembang
Kuning, yang pada waktu itu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu :
Wiryo Suroso, Abu Hurarah, dan kyai Bangkuning. (Drs. Rohadi Abdul Fatah, M.Ag,dkk,
2008:14)
Pendapat kedua, bahwa
sistem pendidikan pondok pesantren tidak lain adalah berasal dari tradisi Islam
itu sendiri. Mahmud Junus, misalnya mengemukakan bahwa model pembelajaran
individual seperti sorogan, serta sistem pengajaran dimulai dengan belajar tata
bahasa Arab ditemukan juga di Baghdah (Irak) ketika menjadi pusat ibu kota pemerintahan Islam. (MU
YAPPI, 2008: 28)
Pesantren di Indonesia
tumbuh dan berembang sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah pemerintah pemerintah kolonial Belanda,1831
di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak
kurang 16.500 orang. Kemudian suatu survey yang diselenggarakan oleh kantor
Shumubu (KUA) pad masa Jepang tahun 1942 jumlah pesantren bertambah menjdi
1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlah dengan pesantren di luar jawa dan
pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus
bertambah, berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.312 buah. (WWW.depag.net.id)
B.
TUJUAN PENDIDIKAN PESANTREN
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa pondok pesantren telah mempunyai andil
dalam penyebaran Islam dan dakwah Islam. Namun untuk menggambarkan tujuan
pendidikan pesantren secara pasti dan seragam adalah sangat sulit, karena
pesantren mempunyai tujuannya masing secara eksplisit.
Hal ini ada hubungannya
dengan sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya di
mana kyai mengajar dan santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah lillahita’ala, dan tidak pernah
dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan
jabatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi kepegawaian. (Drs. H. Rohadian Abdul Fatah, M.Ag.,dkk, 2008:
19)
Secara
lebih luas Mastuhu (1999: 80-81} berpendapat bahwa tujuan pendidikan pesantren
diantaranya adalah:
a.
Memiliki kebijaksanaan menurut
ajaran Islam.
b.
Memiliki kebebasan yang
terpimpin.
c.
Berkemampuan mengatur diri
sendiri.
d.
Memiliki rasa kebersamaan yang
tinggi.
e.
Menghormati orang tua dan guru.
f.
Cinta kepada ilmu.
g.
Kemandirian.
h.
Kebersahajaan.
Tujuan
didirikannya pesantren menurut M. Arifin (1995: 248) pada dasarnya terbagi
menjadi dua hal, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan Khususnya adalah
mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam agama yang
diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat . Sedangkan
tujuan umumnya adalah membimbing anak didikya untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi menjadi mubaligh
Islam dalam masyaratkat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Berkenaan dengan
tujuan pendidikan pesantren Drs. H. Rohadian Abdul Fatah, M.Ag.,dkk (2008: 21) berpendapat
bahwa bagi pesantren baru yang lebih modern biasanya telah merumuskan tujuannya
dalam bentuk visi dan misi pesantren, rumusan biasanya sekitar hal-hal berikut
:
a. Membangun masyarakat melalui pendidikan
b. Dakwah Islamiyah
c. Mempersiapkan generasi muda muslim dengan membekali mereka
pengetahuan agama dan umum.
Dari
beberapa pendapat diatas jelaslah bahwa pesantren mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan santrinya mempunyai ilmu agama Islam dan dan dapat mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dan tujuan utama pendidikan dalam pesantren adalah
untuk penyebaran dakwah dan penyiaran Islam. Hal ini dapat kita ketahui dari
sejarah berdirinya pesantren-pesantren pada generasi awal dimana tujuan para
kyai mendirikan pesantren adalah sebagai tempat mensyiarkan agama Islam dan
menyiapkan guru-guru yang akan meneruskan usaha kyai di kalangan umat.
C.
UNSUR-UNSUR POKOK DALAM PESANTREN
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan
Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di
Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70).
Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan
jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang
diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi.
Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap
pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai.
masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah
elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga
pendidikan lainnya.
1)
Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian,
pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan
unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan
pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah,
1999:144).
Istilah kyai bukan berasal dari
bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa,
perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai
gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai
garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton
Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para
santrinya (Dhofier 1985:55).
2)
Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan
masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum
muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai
tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan
politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari
yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai
“tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49). Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang
kyai yang ingin mengembangkan sebuah
pesantren adalah masjid. Masjid terletak
dekat atau di belakang guru kyai.
3)
Santri
Santri merupakan unsur yang penting
sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam
tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk
belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim,
baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang
lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua
kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian
santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing
sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya
berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering
pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam
pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu,
kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan
suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki
keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan
dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
4)
Pondok
Definisi singkat istilah ‘pondok’
adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para
santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada
jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang
dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri
lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri
wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki
gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan
ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian
dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh
kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan
dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari
yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat
latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka
siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus
memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara
lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas
tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem
pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang
disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).
5)
Kitab-Kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik dikarang
para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu
pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab
Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi
kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan
tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana,
kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu
pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah,
1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan
yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf
(morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan
etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab
ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya:
tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa
pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).
D.
SISTEM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
DI PESANTREN
Sistem pengajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan
untuk menyampaikan tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren, ajaran
adalah yang terdapat dalam kitab-kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi
yang dipegang oleh pondok pesantren tersebut. (Mu Yapi, 2008:62)
Pondok pesantern memiliki model-model pengajaran yang bersifat
nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran
sorogan dan wetonan atau bandungan (menurut
istilah dari Jawa Barat). (Dra. Hj. Enung K Rukiati dan Dra. Fenti Hikawati,
2006 : 106)
Sistem pengajaran bandongan adalah
sistem pengajaran yang dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz yang telah
diakui kapabilitasnya terhadap santri untuk mendengaran dan menyimak apa yang
dibacakannya dari sebuah kitab kuning. Sang kyiai akan membacakan kalimat per kalimat,
menerjemahkan, dan menjelaskan isi kitab.
Sedang para santri mendengar apa yang dikatakan sang kyai dan mencatat simbol-simbol
kedudukan kata, arti kata-kata langsung di bawah kata yang dimaksud, dan
penjelasan-penjelasan sang kyai yang dianggap penting dan dapat mempermudah
memahami isi kitab. (Mu Yapi, 2008:63)
Dengan metode bandungan atau halaqoh dan sering juga disebut wetonan, para santri duduk di sekitar kyai
dengan membentuk lingkaran. Kyai maupn santri dalam halaqah tersebut memegang
kitab masing-masing. Kyai membacakan teks kitab, kemudian menerjemahkannya kata
demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitab masing-masing dan
mendengarkan dengan seksama terjemahan dan penjelasan kyai. Kemudian, santri mengulang dan mempelajari kembali secara
sendiri-sendiri (Mahmud Yunus, 1985: 58)
Pengajaran dengan sistem bandongan
ini kemudian dilanjutkan dengan sistem pengajaran sorogan. Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar per kepala yaitu setiap
santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara
langsung dari kyai. Dengan cara ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kyai
yang disebut “badal”. (Dra. Hj. Enung
K Rukiati dan Dra. Fenti Hikawati, 2006 : 106)
Sistem pengajaran yang lain adalah hafalan. Sistem ini telah menjadi
salah satu cirri yang melekat pada sistem pengajaran tradisional, termasuk
pondok pesantren. Pada satu sisi hal ini sangat penting pada sistem keilmuan yang lebih mengandalkan
dan mengutamakan argumen naqli, tranmisi, dan periwayatan (normatif). (Mu Yapi, 2008:65)
Selanjutnya sistem pengajaran yang dilakukan di pesantren adalah sistem pengajaran
musyawarah. Sistem pengajaran ini lebih mirip dengan diskusi atau semiar yang
ditujukan kepada santri senior atau santri tingkat tinggi. Beberapa orang
santri senior berkumpul membentuk lingkaran dengan dipimpin oleh seorang kyai
untuk membahas masalah-masalah tertentu. (Mu Yapi, 2008:66)
E. TIPOLOGI PONDOK PESANTREN
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan
bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan
dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti sebagai pondok
pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren yang
telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren yang tetap merupakan
lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dar masyarakat untuk
masyarakat.(Bahri Ghajali, 2003:13)
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
1) Pondok pesantren tradisional
Pondok
pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata
mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama
abad ke 15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan
menerapkan sistem “halaq” yang
dilaksanan dimasjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah
penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada
terciptanya santri yang menerima dan yang memiliki ilmu. (Mastuhu, 1994: 157)
Artinya
ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya
terbatas pada apa yang diberikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung
sepenuhnya kepada para kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para
kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri
mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong). (Bahri
Ghajali, 2003:14)
2) Pondok pesantren modern
Pondok
pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya
cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem
belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada
penggunaan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah.
Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku
secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa
itu. Kedudukan para kyai sebagai coordinator pelaksanakan proses belajar mengajar
dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan
madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol
sebagai kurikulum lokal. (Bahri Ghajali, 2003:14)
3) Pondok pesantren Komprehensif
Pondok
pesantren ini disebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan
pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di
dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode
sorogan, bandongan dan weweton, namun secara reguler sistem persekolahan terus
dikembangkan. Bahkan pendidikan keterampilan pun diaplikasikan sehingga
menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua (Marwan Saridjo, 1980: 9-10) . Lebih jauh daripada itu pendidikan masyarakat
pun menjadi garapannya. Dalam arti yang sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa pondok pesantren telah berkiprah dalam
pembangunan social kemasyarakatan (M. Dawam, 1988: 15)
D. NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN PEMIKIRAN
DALAM PESANTREN
Pilihan
pada bidang pendidikan yang digeluti selama
ini tak lepas dari pemahaman komunitas pesantren tentang Islam. Dalam
al-Qur’an, banyak sekali ayat yang secara langsung maupun tidak langsung
berbicara tentang pendidikan seperti surat
al-Alaq (96): 1-5.
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ
وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا
لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan,
2.
Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ayat
di atas isinya penuh dengan muatan pendidikan yang sangat mendasar. Dalam surat ini tampak jelas,
tegas, dan lugas perintah Allah untuk membaca. Membaca secara harfiyah maupun
maknawiyah merupakan sebuah aktivitas pendidikan yang sangat penting. Sementara
itu Nabi Muhammad memberikan keteladanan yang sangat baik tentang tata cara
bermoral dan beretika.
Gagasan pokok yang dijadikan dasar dalam pengembangan
nilai-nilai pesantren dalam pendidikan Islam yaitu agar menjadikan jalan bagi
seorang muslim yang bertaqwa, berakhlak
mulia, dan sebagai warga yang baik, sanggup menyesuaikan diri di dalam masyarakat,
bertanggung jawab, memiliki ketrampilan, kemampuan pengetahuan yang baik, di
bidang pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Keunikan yang terdapat di pesantren ialah sistem nilai
yang dimainkan sebagaimana yang diinginkan komunitas pesantren demi kepentingan
masyarakat pada umumnya. Sistem nilai pesantren menggunakan nilai-nilai barokah
sebagaimana diungkapkan Abdurrahman Wachid (1999:18) nilai yang dilestarikan
pondok pesantren adalah doktrin barokah yang merupakan pancaran kyai atau ulama
pada Sedang menurut Nurcholis Majid (1997: 20) sistem nilai yang digunakan
pesantren ialah yang berakar dari agama Islam.
Nilai-nilai yang dikembangkan di pesantren adalah
nilai-nilai moralitas yang dikembangkan dari kaidah-kaidah Islam untuk
mensucikan dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela sebagai ajaran dasar
Islam dan juga jalan untuk memperoleh kedekatan dan keridloan Allah.
Nilai-nilai ini tidak dapat dihasilkan oleh
lembaga-lembaga lainnya, hanya di pesantren sendiri yang menghasilkan nilai-nilai
akhlak yang dapat dirasakan oleh kalangan santrinya. Esensi moralitas
mencerminkan ketauhidan kepada Allah Swt, sehingga jelaslah pesantren dapat
bertahan untuk mendidik, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam, dan lebih dari
itu pesantren mampu membentuk manusia yang mempunyai moralitas.
kontennya bagus, terimakasih
BalasHapusgbu