Sabtu, 06 September 2014

PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS MANUSIA DALAM PERSFEKTIF FOWLER DAN AL-GHAZALI (SEBUAH STUDI PERBANDINGAN)



A.      PENDAHULUAN
James W. Fowler mengembangkan suatu teori yang disebutnya “Faith Development Theory”. Teorinya ini lebih menjurus pada psikologi agama. Namun pendekatannya ini membantu kita dalam memahami tahapan perkembangan percaya seorang manusia dan satu komunitas. Atau membantu dalam memahami alasan-alasan mengapa dan bagaimana seorang menjadi percaya atau beragama.
Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief)/agama. Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang menyusun suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak tersusun secara rapi. Fenomena-fenomena percaya awal adalah suatu susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak teratur, ajeg). Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga yang mencari sesuatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa merepresentasi hal yang dipercayainya itu.
Konsep pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
B.       Perkembangan Spiritual Manusia dalam Persfektif Fowler
1.      Biografi Singkat Fowler
James Fowler lahir pada tanggal 12 Oktober 1940 daerah North Carolina, Amerika Serikat.[1] Ayahnya adalah seorang direktur ekslkusif Methodist Summer Conference Center. Suasana iman yang mendalam di dalam keluarganya, khususnya berkat pengaruh sang ayah yang menjadi pendeta gereja Methodist, mendorong James untuk mengadakan refleksi teologis terhadap masalah-masalah iman. Ia merasa terpanggil menjadi pendeta. Dengan demikian, dia mengikuti jejak ayahnya.
James Fowler merupakan psikolog agama pertama kalinya dalam sejarah psikologi secara eksplisit dan sistematis mempelajari kepercayaan/iman.[2] Dan mulai mengembangkan teori perkembangan kepercayaannya sejak tahun 1968-1969 ketika ia menjadi wakil pemimpin suatu pusat pembinaan agama dan kebudayaan di North California dan bekerja sebagai seorang pakar bimbingan dan konseling. Dia berupaya memhami bagaimana suatu kepercayaan berkembang secara berangsur-angsur menuju kepercayaan yang matang.[3] 
Teori Fowler adalah suatu teori yang menggambarkan tujuh tahap perkembangan kepercayaan eksistensial sebagai kejadian penting menentukan perjalanansetiap orang.Oleh karena itu, dia menjelaskan hubungan psikologi dengan teologi melalui teori tahap perkembangan iman[4].
2.       Teori Pemikiran Fowler
Melalui pendekatan James Fowler terhadap Faith Development Theory (Teori perkembangan iman), dia menjelaskan bahwa Faith tidaklah identik dengan “agama” (religion). Faith merupakan kepercayaan eksistensial pribadi atau iman, dan merupakan usaha psikologis ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh dinamika proses perkembangan tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Sedangkan agama merupakan sebagai sebuah tradisi kumulatif tertentu yang bersifat historis, budaya dan kultus dimana suatu masyarakat tertentu melalui khazanah simbol, upacara, norma etis dan ekspresi estetis secara resmi.[5] Dalam buku Rahmat Subagya kepercayaan terdiri dari unsur kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan.[6]  L. Orange menyatakan bahwa agama merupakan suatu filsafat karena berasal dari konspe manusia itu sendiri.[7]  Oleh karena itu kepercayaan dan agama adalah hal yang berbeda. Sehingga menurut Fowler perbedaan ini merupakan hal yang sangat penting. Pendekatan perkembangan kepercayaan melalui beberapa tahap pendekatan diantaranya adalah:

1.    Tahap 1: kepercayaan elementer awal (Primal Faith) 0-2 tahun.[8]  
Tahap ini adalah tahap 0 atau pratahap (pre-stage yaitu masa orok, bayi 0-2 tahun) atau disebut juga dengan kepercayaan yang belum terindefikasi karena bayi belum mengenal dan merasakan lingkungannya. Dasar kepercayaannya, keberanian, harapan dan cinta belum dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu sama lain dalam suatu keadaan kesatuan yang samara-samar. Pola kepercayaan ini disebut elementer, awal dan dasariah.Rasa kepercayaan elementer ini timbul dengan spontan yang bersifat pralinguistis (preverbal) sebelum munculnya kemampuan berbahasa yang terdapat di lingkungan sekitar dan yang setia merawatnya (orangtua terutama ibu).Sama halnya dengan pemahaman Erikson yang berpandangan bahwa masalah psikoanalisis dan pertumbuhan manusia berasal usul pada masa kanak-kanak, percaya dasariah diperoleh dari ibu.[9] Si anak memperoleh kasih pertama kanak-kanak, percaya dasariah diperoleh dari ibu..karena ibulah yang menggunakan banyak waktunya untuk anaknya serta menyiraminya dengan kasih yang tulus. Anak disini membutuhkan kasih tanpa syarat sehingga butuh dikasihi sebagai pribadi yang unik.Oleh karena itu, epran yang paling utama disini adalah peran ibu.
Psikologi yang juga berpusat dari simbol ibu adalah Carl Jung merupakan salah satu tokoh psiko-analisis.Psikologi Jung dikatakan dengan psikologi statis yang mengutamakan fase pra-oedipus, yakni fase narsisme pertama serta ikatan arkahis dengan ibu.Sedangkan psikologi Freud merupakan psikologi dinamis karena Freud menggarisbawahi pentingya konflik dalam perkembangan manusia, khususnya konflik Oedipus.[10] Oleh karena itu Vergote mengatakan bahwa psikologi Freud berkisar apda simbol bapak (bapaklah tokoh yang paling dominan dalam fase-oedipus) sedangkan psikologi Jung berkisar pada simbol ibu, karena tokoh ibulah yang berperan pusat dalam pra-oedipus.
 Psikologi yang dikembangkan oleh tokoh psiko-analisis yang termasyur bolah dikatakan berpusat pada simbol ibu adalah Jung dengan sebutan psikologi simbol ibu.Psikologi Jung dikatakan dengan psikologi statis yang mengutamakan fase pra-oedipus, yakni fase narsisme pertama serta ikatan arkhais dengan ibu.Sedangkan psikologi Freud merupakan psikologi dinamis karena Freud menggarisbawahi pentingnya konflik dalam perkembangan manusia, khususnya konflik-oedipus.  Oleh karena itu Vergote mengatakan bahwa pskologi Freud  berkisar pada simbol bapak (Bapaklah tokoh yang paling dominant dalam fase-oedipus) sedangkan psikologi Jung berkisar pada simbol –ibu, karena tokoh ibulah yang berperan pusat dalam fase pra-oedipus.
Carl Jung berpendapat bahwa melambangkan Allah, sang ibu tidak kalah pentingnya dengan sang bapak. Anggapan ini dapat kita hubungkan teorinya dengan agama yang manyatakan bahwa pendorong agama ialah hasrat untuk manusia dilahirkan kembali menjadi dirinya sendiri, menjadi utuh pula.Oleh karena itulah di dalam dan oleh ibulah manusia dilahirkan kembali menjadi dirinya sendiri.[11]  
Pengalaman kepercayaan akan Allah transenden selaku Wujud Tertinggi yang mahacinta, mahakuasa, dan mahabijaksana tergantung kepada siapa kita merasa diri bergantung secara radikal dalam sikap setia dan percaya, telah digariskan dan dikembangkan oleh diri pengasuh utama. Pengasuh utama akan mempengaruhi juga gambaran asli tentang Allah sebagai Ibu-Bapak. Disini tidak hanya menyadari adanya ambivilensi dan ambiguitas dalam hidup dan realitas manusia, tetapi juga pada Allah sendiri menurut bayangan kita.[12]
2.   Tahap 2: Kepercayaan intuitif- Proyektif[13]   
Daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang.Tetapi pada tahap ini, anak belum memiliki kemampuan operasi logis yang mantap, sehingga daya imajinasi berkembang secara bebas.Daya imajinasi dirangsang oelh cerita, gerak, isyarat, upacara, dimbol dan kata-kata.Semua ini diperhatikan oleh anak-anak dengan sungguh-sungguh.Sehingga kemampuan dan minat anak terhadap misteri yang suci diarahkan da dibina persepsinya mengenai pandangan dan keyakinan religious orang dewasa.Dunia gambaran dan imajinasi ini menguasai seluruh hidup afektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan si anak.Tahap pertama yang praverbal diakhiri dengan timbulnya kesanggupan berbahasa kira-kira pada umur 2 tahun, walaupun pembendaharaan kata-kata masih terbatas.Oleh karena itu, eprlu pembimbingan dari orang dewasa yang berada di dekatnya.
Allah digambarkan menurut alam fantasi pra-antromorf. Artinya, anak mencoba menerapkan berbagai ide seperti yang tidak kelihatan seperti roh, angina, udara, dan lain sebagainya untuk menggambarkan Allah yang mempengaruhi dunia secara fisik dan substansial. Namun, biarpun Allah dilukiskan secara pra-antromorf (misalnya Allah bagaikan udara, Dia ada dimana-mana, anak juga memahami Allah sebagai suatu pribadi. Misalnya: saya mencintai-Nya sehingga Pribadi Allah digambarkan menurut aspek-aspek fisik. Misalnya: Allah berpakaian putih. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa anak memahami Allah melalui campuran antara gambaran antromorf dan pra-antromorf.[14]
3.   Tahap 3: Kepercayaan Mistis Harafiah (6-11 tahun)[15]   
Masa ini adalah masa usia sekolah. Pada tahap ini gambaranm emosional dan imajinasi masih berpengaruh kuat.Namun muncul operasi-operasi logis baru yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi dari tahap sebelumnya.Bentuk berpikir yang agak episodis dan intuitif (tahap ke II pun ditinggalkan). Anak belajar melepaskan diri dari egosentrisnya mulai dengan membedakan perspektif dirinya dengan orang lain. berkat gaya logikanya yang baru dan pengambilan perspektif orang lain tersebut, maka anak sanggup memandang religiusnya dengan tolok ukur logikanya sendiri. Tetapi pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun dunia bati atau interioritas yaitu seluruh perasaan, sikap dan prosess penuntun batiniah yang dimilikinya sendiri. Pandangan moralnya  menuntut bahwa yang baik harus dihadiahi dan yang jahat harus dihukum. Seringkali anak menyusun gambaran menegnai lingkungan yang ultimo atau Allah seturut analogi seorang penguasa dan orangutan yang selalu bersikap memelihara, terutama bersikap adil dan jujur.
Semua tokoh dan pelaku yang memainkan peran dalam cerita selalu dilukiskan Allah secara antromorf.Penggambaran yang bercorak antromorf ini diproyeksikan kepada Allah yang diapndang sebagai Raja pembuat undang-undang yang pertimbangan moralnya didasarkan pada sikap fairness (kejujuran, keadilan, kewajaran).[16] Aspek yang paling penting pada tahap ini adalah bahwa anak dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui cerita rakyat dan hikayat. Bahan naratif tersebut menjadi medium yang paling digemari menciptakan dan mendapatkan arti. Namun, anak menangkap dan menafsirkan seluruh cerita, simbol, pendapat, dan keyakinan kepercayaan orang lain serta kelompok-kelompoknya masih terbatas, sebab anak masih memahami semuanya itu secara harfiah, konkret, dan mampu berpikir secara induktif sehingga pantas disebut sebagai seorang yang empiris. Berbeda dengan anak intuitif-proyektif yang mencampurkan fakta, fantasi dan perasaan, sedangkan tahap ini yaitu mistis- harfiah berusaha keras dan efektif untuk memisahkan yang real dari seolah-olah yang nyata.Tahap ini juga mampu menuangkan pengalamannya dalam bentuk cerita.
4.   Tahap ke 4: Kepercayaan Sintesis-Konvensional (masa adoselen umur 12- masa dewasa).[17] 
Tahap ini muncul pada masa adoselen (umur 12-20 tahun).Sekitar umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam caranya sendiri memberi arti.Erikson menyatakan bahwa pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan ekkacauan peran. [18] Krisis identitas tercipta oleh runtuhnya dunia kanak-kanak. Pencapaian identitas itu terjadi di tengah-tengah krisis yang hebat.[19]  Karena munculnyaoperasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara kritis riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidupnya bagi dirinya sendiri. Upaya menciptakan operasi-operasi formal ini makna baru (sintesis) menyebabkan remaja sangat tertarik pada ideologi dan agama.Agamalah yang menciptakan kerangka makna eksistensial yang terdalam dan terakhir. Remaja berjuang menciptakan suatu sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung proses pembentukan identitas diri dan memungkinkan munculnya rasa kesetiakawanan, kesetiaan dan kepercayaan kepada orang lain. pola kepercayaan ini disebut dengan Fowler dengan konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini disebut Fowler dengan konvensional.Tetapi pembentukan identitas diri ini, menjadi krisis yang paling utama pada tahap kepercayaan sintesis-konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini, menjadi krisis yang paling utama pada tahap kepercayaan sintesis-konvensional karena remaja akan bingung dan sulit menemukan jati dirinya karena gambaran-gambaran dari luar disatukan dengan dirinya dengan gambaran yang heterogen, baik itu dari masyarakat, keluarga, sahabat (psikososial).
Pada tahap ini juga remaja akan menyusun gambaran yang agak personal mengenai lingkungan akhir. Artinya, Allah tidak lagi dibayangkan menurut model antromorf semata-mata seperti pada tahap sebelumnya yaitu tahap kepercayaan mistis-harafiah. Akan tetapi akan disusun menurut paradigma “hubungan antar pribadi mutual” yaitu Allah yang “personal” merupakan seorang pribadi yang mengenal diri saya secara lebih baik daripada pengenalan diri saya sendiri. Sehingga remaja dapat mengandalkan Allah sebagai sahabat karib, penyelamat, dan Allah sebagai Pribadi yang mengenal dan memahami remaja. Selaku sahabat Unggul yang paling akrab, Allah juga dipandang sebagai Kepribadian ulung yang secara istimewa memilki kedalaman hidup batin yang kaya, berlimpah ruah dan penuh misteri yang tidak ada batasnya.
5.      Tahap 5: Kepercayaan individuatif-Reflektif (masa dewasa awal dan sesudahnya, umur 18 tahun dan seetrusnya)[20]
Paling cepat berumur 18 tahun, atau biasanya pada umur sekitar 20 tahun, seklai lagi mengalami perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Tahap ini ditandai dengan lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai agama yang lama.pribadi sudah mampu melihat sendiri dan orang lain sebagai bagian dari sistem kemasyarakatan, tetapi bahwa dia sendirilah yang memikul tanggungjawab atas peentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk mengikatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan panggilan tugas. Pada tahap ini orang dewasa muda sangat tanggap dan peka terhadap macam pemimpin ideologis dan kharismatis yang pastinya membutuhkan kebenaran logis sehingga pada tahap ini diperlukan pempimbing yang cerdas untuk menerapkan kebenaran dengan kehidupan yang nyata dalam pelayanan yang mereka lakukan sesuai dengan bakat mereka untuk melayani Tuhan.
Kepercayaan pada tahap ini disebut dengan “individuatif” karena baru saat inilah pertama kalinya dalam refleksi diri tidak semata-mata bergantung pada orang lain. Pribadi mengalami diri autentik dan mandiri.Tahap ini juga sudah bersikap kritis terhadap simbol.Simbol tidak lagi dianggap identik dengan yang sakral, tetapi memahaminya secara rasional.
6.   Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (usia setengah dan selanjunya umur minimum  sekitar 35-40 tahun)
            Ini timbul pada usia pertengahan (sekitar 35 tahun keatas). Semua yang diupayakan di bawah kuasa kesadaran dan pengotrolan rasio pada tahap sebelumnya kini ditinjau kembali.  Batas-batas sitem pandangan hidup dan identitas diri yang jelas, kaku, dan tertutup kini menjadi luntur dan kembali samara-samar.Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kini perhatian utama ditujukan upaya mmebuat hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber ketidaksadarannya dan melampaui egosentrismenya yang tertutup menuju perngabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain. ia menjadi lebih peka terhadap fakta bahwa hidup lebih merupakan anugerah pemberian daripada hasil upaya rasional.[21]  Tahap ini menyadari bahwa semua kehidupan yang dialaminya dan merupakan anugerah bukan dari kekuatan hasil usaha, kerja keras yang dimilikinya selama ini, melainkan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan.
            Pada tahap ini juga sang pribadi mencapai tingkat kepolosan kedua yang meresapi rasa tanggap baru terhadap segala arti simbol, bahasa, kiasan, cerita, mitos, methapor dianggap sebagai saarna untuk memahami kebenaran. Segala simbol dan upacara dipandang sebagai jalan perantara sah yang mampu mengangakt hati manusia kepada yang Ultim dan Allah dihayati sebagai wujud yang sungguh-sunguh pribadi.
7.  Tahap ke 7: Kepercayaan yang mengacu pada universalitas (usia pertengahan dan selanjutnya, sekitar 45 tahun).
Kepercayaan ini mengacu pada universalitas sebenarnya jarang terjadi, dan jika terjadi umumnya berkembang sesudah  umur 30 tahun atau berkembang pada umur 45 tahun keatas. Pribadi melampaui tingkat paradoks dan polaritas karena gaya hidupnya langsung berakar pada kesatuan Yang Ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Identifikasi dan partisipasi yang hidup mungkin karena pribadi berhasil mengosongkan diri (kenosis) dan memandang bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolak ukur kehidupan yang mutlak. Karena partisipasi Yang Ultim, sumber satu-satunya dari segala nilai, kognisi etis, keterlibatan dan tanggubgjawab, perasaan, epmikiran dan pandangan religius biasa, semuanya itu hendak diubah melalui perspektif universalitas (yang tidak lain adalah perspektif transenden Allah).
Gaya hidup diliputi semangat cinta inklusif dan universal terhadap segala gejala hidup dan makhluk hidup. Oleh karena itu, perjuangan akan kebenaran, keadilan, kesatuan sejati berdasarkan cinta universal ini menyerupai daya dan dinamika Kerajaan Allah. Pribadi yang berada dalam kepercayaan eksistensial universal ini seolah-olah mata, tangan, dan mulut yang mewujudkan cinta dan perspektif abadi dari Yang Transenden (Allah). Dalam kerangka, pribadi semacam ini disebut orang kudus atau saleh dan nabi.[22]
C.      Perkembangan Spiritual Manusia dalam Persfektif Al Ghazali
1.      Biografi Singkat  Al Ghazali
Al Ghazali mempunyai nama asli Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, dilahirkan di kota Thus, Khurasan, wilayah Persia pada tahun   450   H/1085 M.[23]     
Mengenai   sebutan   Al  Ghazali,   berasal   dari    dua                                                                                                                            kemungkinan, yaitu berasal dari nama desa tempat lahirnya Gazalah, oleh sebab itu sebutannya ialah Al Ghazali (dengan satu “z”). kemungkinan yang kedua berasal dari pekerjaan sehari-hari yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya yaitu seorang penenun dan penjual kain tenun dinamakan Gazzal, oleh sebab itu panggilannya Al Ghazali (dengan dua “z”)[24] . Ayah Al Ghazali, adalah seorang ahli tasawuf yang saleh. Sebelum ayahnya meninggal, ia dan saudaranya ketika masih kecil diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak akan mendidiknya.  Karena perbekalan untuk mendidik Al Ghazali dan saudaranya yang dibawa oleh ahli sufi tersebut habis, maka mereka dititipkan di asrama pendidikan di kota Thus. Ia berguru kepada Razakani Ahmad bin Muhammad tentang ilmu fiqh dan kepada Yusuf en Nassa4j tentang ilmu tasawuf[25].
 Kemudian di Durjan[26], ia berguru kepada Nashar el Ismaili, setelah itu ke Nisyarpur menjadi murid imamul Haramayn al Juwayni, guru besar madrasah Nizamiyyah Nisyapur. Disinilah. Ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan : ilmu logika, ilmu kalam, filsafat, ilmu alam dan lain-lain. Kemudian ia pindah ke Bahgdad, kota pusat kebudayaan Islam pada masa itu. Di sini ia mulai mengajarkan ilmunya dan mulai termasyhur. Dengan kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadinya, ia mendapat perhatian dari Perdana Menteri Nizam al Mulk yang pada masa itu memerintah dibawah dinasti Sultan-sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan perdana menteri itu, pada tahun 484 H, ia menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyyah Baghdad selama lima tahun[27].
Pendidikan dan kedudukan serta situasi pada masa itu, dimana muncul berbagai macam aliran agama dan filsafat, masing-masing saling bertentangan dan merasuki dalam bidang keislaman[28],  tampaknya begitu dominan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Tetapi pengaruh tersebut tidak lama menyelip pada dirinya, karena kemudian timbul pergolakan-pergolakan di dalam bathinnya, antara ilmu dan amal.  
Pergolakan  tersebut  membuatnya  sakit,  dokter tidak bisa menyembuhkan,  karena  penyakitnya  berasal  dari   dalam.   Oleh karena  itu, ia mengobatinya dengan kekuatan jiwa sendiri dengan minta pertolongan kepada Allah. Akhirnya pada tahun 489 H, setelah sembuh dari sakitnya, Al Ghazali menemukan jalan hidup baru, yang diyakininya sebagai ilham dan petunjuk Allah. Ia meninggalkan kemewahan, harta kekayaan, kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suria. Di Damaskus, ia berkhalwat selama dua tahun 490 H. kemudian menuju Palestina, tepatnya Hebron dan Yerussalem. Pada tahun 492 H, ia menuju Mesir (mengembara) yang saat itu di Kairo telah     di kenal dengan Universitas Al Azhar (berdiri 362 H / 972 M). Setelah itu Al Ghazali menuju Mekkah dan Madinah (ziarah ke makam Rasulullah dan menunaikkan ibadah haji). Setelah sekian lama di dalam pengembaraan akhirnya ia pulang kembali ke Baghdad. Ia diminta oleh Perdana Menteri Nizam al Mulk untuk menjadi Guru Besar pada Universitas Nizamiyyah yaitu pada tahun 500 H/1106 M[29]. Menurut Margareth Smith M.A. Ph.D., permintaan tersebut ditolak  Al Ghazali[30]. Menurut Jamil Ahmad, seorang penulis buku Hundred Great Muslims walaupun istana Saljuk terus menerus mengundang dia untuk membimbing peningkatan ilmu dikawasan mereka (Universitas Nizamiyyah), Al Ghazali sama sekali tidak mau berhubungan dengan penguasa itu, dan melanjutkan kegiatan mengajar di kota kelahirannya (Tus) sampai wafat[31]  . Sesudah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyelami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tahun 1111 M/505 H. Al Ghazali meninggal dunia.
 2.    Teori Pemikiran Al-Ghazali
Di dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia.[32] Di dalam sejarah pemikiran islam, pandangan yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).[33]
  Berdasarkan hal ini, maka dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali yang meliputi, diantaranya : (1) Hakikat Manusia, (2) Hikayat Insan, dan (3) Sifat Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya. Semoga dengan kajian ini kita dapat mengetahui pola pemikiran dari Al-Ghazali tentang manusia yang dapat membangkitkan kembali pemikiran intelektual dari kaum muslim.
1.      Hakikat Manusia
Hakikat berasal dari kata Arab Al-haqiqat, yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[34]  Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’ al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri.”[35] Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun, apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.[36]  
Lebih lanjut, Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi.[37]  Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami),[38] yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu, Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif).[39] Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah)sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa.[40] Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Disamping itu, berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29). Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana), dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).[41]
Demikianlah pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan  bahagia atau sengsaranya di akhirat kelak.
2.       Hikayat Insan
Menurut Al-Ghazali sekalipun manusia itu termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik dalam arti luar maupun dalam, akan tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat keadaan yang sangat menakjubkan bagi dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan. Yang dimaksud dengan ilmu ialah kekuatan untuk membina, mempunyai daya cipta yang tidak bisa diraba dan memiliki hakikat kecerdasan. Dengan kemauan atau kehendak yang dimaksud disini ialah nafsu, keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan setelah diputuskan oleh pertimbangan akal yang sehat tentang segala akibatnya.[42]
Dengan melihat keadaan dan sifat yang telah penulis sebutkan diatas. Maka hal inilah yang membawa perbedaan antara manusia dengan hewan. Karena pada binatang atau hewan sekalipun ia mempunyai keinginan juga, namun hewan tidak mempunyai pertimbangan akal.
Tabi’at manusia menurut Al-Ghazali ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang dikenal dengan nama kebinatangan, kekasaran, kesyeitanan dan kemalaikatan (kesucian). Oleh karena itu, maka tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang itu muncul perbuatan-perbuatan seperti babi, anjing, syaitan dan alim. Sifat babi menggambarkan keserakahan yang menjijikan, bukan dalam hal bentuk dan potongannya akan tetapi dalam kegemaran makan diluar kepantasan. Hanya untuk melepaskan lahap dan nafsunya saja. Kelakuan anjing menggambarkan sifat suka melepaskan hawa nafsu kemarahan, dengan perbuatannya mengonggong dan mengigit yang menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pihak lain. Kelakuan syaitan menggambarkan sifat-sifat yang suka menghasu-hasut, mengaburkan faham dan pengertian yang dimiliki oleh pandangan akal-budi yang sehat dari sifat-sifat kesucian dan ajaran keagamaan, digodanya dan dihasut-hasutnya serta dibujuknya oleh syaitan itu dengan hiasan-hiasan, janji dan kepalsuan. Akal budi yang bersih yang bersih bila dimilikinya selalu bertujuan untuk menolak setiap ajakan dan pengaruh dari sifat-sifat buruk yang ada pada syaitan. Ia akan mengawasi terlebih dahulu ajakan hawa nafsu yang murka.[43]
Terlihat jelas dari uraian diatas apabila akhlak manusia itu merosot, tidak mau mentaati perintah agama dan akal budi yang suci bersih. Maka ia akan dipengaruhi oleh ketiga sifat diatas yaitu kebinatangan, kekasaran dan kesyaitanan yang akan membawanya ke jurang kehancuran dan kebinasaan.
3.    Sifat Manusia, Pengembangan  dan Pengetahuannya

Tinjauan filsafat yang lebih menonjol terhadap perbuatan manusia, menurut Al-Ghazali adalah yang menyangkut kebebasan perbuatan manusia dilihat dari segi efektivitasnya. Pandangan terhadap hal ini mempunyai akar pada konsepsi tentang hakikat manusia dan daya-daya yang dimilikinya. Perbuatan-perbuatan itu merupakan hasil determinasi kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Manusia dalam hal ini adalah tempat berlakunya kekuatan-kekuatan itu.[44] 
Di dalam Islam, menurut Al-Ghazali segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dari seleranya yang terendah sampai kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai tujuan akhirnya. Dengan mengecualikan “roh”, setiap sifat yang dimiliki manusia mempunyai dua bisikan hati, yakni : Pertama, untuk mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar tercapainya kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya terhadap perkembangan pribadinya secara utuh. Kedua, dalam rangka memainkan perannya di dalam suatu keselarasan, yang diperlukan antara segala sesuatu yang menjadi dasar kepribadian manusia.[45] Disini terlihat jelas aspek yang pertama itulah yang dapat membuat diri manusia sulit untuk mencapai tujuan hidupnya secara baik.
Al-Ghazali seringkali memperingatkan kita bahwa pengembangan keutuhan diri membutuhkan banyak pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang sifat-sifat manusia. Oleh karena itu, sangatlah utama bagi seseorang yang menginginkan kebebasan demikian supaya meneliti rahasia kepribadian manusia dan untuk memahami dasar-dasarnya ia harus tahu kualitas, karakteristik dan sifat yang terdapat pada kepribadian tersebut, agar mengetahui tempat di mana keagungan kepribadian itu berada dan juga mengetahui tempat kemungkinan adanya kerusakan dan kehancuran kepribadian.[46]
Menurut Muhammad Yasir Nasution, pengetahuan tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang diketahui itu. Kegiatan mengetahui melibatkan tiga hal yaitu : subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui dan pengetahuan (realitas subyektif). Dan lebih lanjut, menurut Al-Ghazali kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu obyek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens dan atribut-atribut tambahan yang menyelebungi hakikatnya. Ketika subyek berhubungan dengan obyek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran (qadar), cara (kayf), tempat dan situasi.[47] 
Dengan demikian menurut hemat penulis maka proses abstraksi ini memperlihatkan indera sebagai pintu masuk pengetahuan dan akal sebagai tempat pengetahuan tertinggi.
D.   Kesimpulan
Pendekatan perkembangan kepercayaan menurut Fowler melalui beberapa tahap pendekatan diantaranya adalah:
1.      Tahap 1: kepercayaan elementer awal (Primal Faith) 0-2 tahun.  
2.      Tahap 2: Kepercayaan intuitif- Proyektif  
3.      Tahap 3: Kepercayaan Mistis Harafiah (6-11 tahun)
4.      Tahap ke 4: Kepercayaan Sintesis-Konvensional (masa adoselen umur 12- masa dewasa)
5.      Tahap 5: Kepercayaan individuatif-Reflektif (masa dewasa awal dan sesudahnya, umur 18 tahun dan seetrusnya)
6.      Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (usia setengah dan selanjunya umur minimum  sekitar 35-40 tahun)
7.      Tahap ke 7: Kepercayaan yang mengacu pada universalitas (usia pertengahan dan selanjutnya, sekitar 45 tahun).

  Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali, diantaranya :
(1)   Hakikat Manusia;Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya
(2)   Hikayat Insan; Sekalipun manusia itu termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik dalam arti luar maupun dalam, akan tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat keadaan yang sangat menakjubkan bagi dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan.
(3)   Sifat Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya; Segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dari seleranya yang terendah sampai kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai tujuan akhirnya.





















[1] Agus Cremers, Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Kerya Penting James Fowler, Kanisius, Yogyakarta: 1995, hlm. 17.
[2]Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James Fowler Sebuah Gagasan Baru dalam Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1995, hlm. 7.
[3] Opcit. Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm. 17.
[4] Opcit, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 8.
[5] Ibid., hlm. 21-22.
[6] Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1976, hlm. 9.
[7] Nico Syukur, Filsafat Agama Kristiani, Kanisius, Yogyakarta: 1976, hlm. 9
[8] Ibid., hlm27.  
[9] Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, Kanisius: Yogyakarta, hlm. 91
[10] Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1989, hlm. 36.
[11] Ibid., hlm. 39.
[12] Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 102.
[13] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm. 28-29
[14] Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 109-110
[15] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm.29
[16] Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 117-118.
[17] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm. 30.
[18] Opcit., Dialog Psikologi dan Agama, hlm. 90.
[19] Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Kanisius, Yogyakarta: 1994, hlm. 26.
[20] Ibid., hlm. 32.
[21] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Karya Penting James Fowler, hlm. 34

[22] Ibid. Hal 40
[23] H. Zaina Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al Ghazali, Bulan Bintang, Jakarta, 1975. Hal. 27
[24] Ibid, hal. 28
[25] Ibid, hal. 31
[26] Ahmad Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal 135.
[27] H.M.K. Bakry, Al Ghazali, Penerbit, Wijaya, Jakarta. 1962, hal.9
[28] Dr. Yusuf al Qardhawi, Al Imam al Ghazali Baina Madihihi wa Naqidihi, alih bahaa Dr. Achmad Satori Ismail, Pro-kontra Pemikiran al Ghozali, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal.22
[29] Imam Al Ghazali,  Al Munqidz min Adh Dhalal, Alih bahasa, Achmad Khudari Saleh, Kegelisahan Al Ghazali : Sebuah Otobiografi Intelektual, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. 24
[30] Margareth Smith,  Al Ghazaly-The Mistic, alih bahasa Drs. Amrouni, M. Ag., Pemikiran dan Doktrin Mistis Al Ghazali, Riora Cipta, Jakarta, 2000, hal. 27
[31] Jamil Ahmad,  Hundred Great Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, hal. 100
[32] R.G. Collingwood, The Idea of History. Lihat : Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 1
[33] Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 6
[34] Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 71
[35] Ahmad Riyadh Turki, dkk., Turas Al-Insaniyyat, (Kairo :Dar Al-Katib Al-‘Arabi, Jus I, (tth.)), hal. 494. Lihat juga Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 74
[36] Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 11
[37] Al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin, (Kairo : Silsilat Al-saqafat al-Islamiyat, 1964), hal 16
[38] Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds, (Kairo : Maktab al-Jundi, 1968), hal. 26
[39] Al-Ghazali, Ibid, hal. 27 & 29
[40] Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1964), hal. 338
[41] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hal. 16
[42] Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, Intisari Filsafat cet-3, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1989), hal 1
[43] Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, ibid, hal. 5
[44] Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 162
[45] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Sirs El-Layyan : Arab States Fundamental Education Center, 1960), hal. 121
[46] Ali Issa Othman, Ibid, hal. 123
[47] Muhammad Yasir Nasution, Log.Cit, hal 136