A. PENDAHULUAN
James
W. Fowler mengembangkan suatu teori yang disebutnya “Faith Development Theory”. Teorinya ini lebih menjurus pada
psikologi agama. Namun pendekatannya ini membantu kita dalam memahami tahapan
perkembangan percaya seorang manusia dan satu komunitas. Atau membantu dalam
memahami alasan-alasan mengapa dan bagaimana seorang menjadi percaya atau
beragama.
Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief)/agama. Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang menyusun suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak tersusun secara rapi. Fenomena-fenomena percaya awal adalah suatu susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak teratur, ajeg). Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga yang mencari sesuatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa merepresentasi hal yang dipercayainya itu.
Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief)/agama. Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang menyusun suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak tersusun secara rapi. Fenomena-fenomena percaya awal adalah suatu susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak teratur, ajeg). Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga yang mencari sesuatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa merepresentasi hal yang dipercayainya itu.
Konsep pemikiran Al-Ghazali tentang
manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan pengenalan hakikat diri adalah dasar
untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang juga pemikir
besar muslim yang karya-karyanya banyak menyinggung masalah manusia. Beliau
merupakan orang yang ulet dalam mencari dan menggeluti segala pengetahuan yang
hendak di ketahuinya untuk mencapai keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
B. Perkembangan Spiritual Manusia dalam
Persfektif Fowler
1.
Biografi Singkat Fowler
James Fowler lahir pada tanggal 12
Oktober 1940 daerah North Carolina, Amerika Serikat.[1]
Ayahnya adalah seorang direktur ekslkusif Methodist Summer Conference Center.
Suasana iman yang mendalam di dalam keluarganya, khususnya berkat pengaruh sang
ayah yang menjadi pendeta gereja Methodist, mendorong James untuk mengadakan
refleksi teologis terhadap masalah-masalah iman. Ia merasa terpanggil menjadi
pendeta. Dengan demikian, dia mengikuti jejak ayahnya.
James Fowler merupakan psikolog
agama pertama kalinya dalam sejarah psikologi secara eksplisit dan sistematis
mempelajari kepercayaan/iman.[2]
Dan mulai mengembangkan teori perkembangan kepercayaannya sejak tahun 1968-1969
ketika ia menjadi wakil pemimpin suatu pusat pembinaan agama dan kebudayaan di
North California dan bekerja sebagai seorang pakar bimbingan dan konseling. Dia
berupaya memhami bagaimana suatu kepercayaan berkembang secara berangsur-angsur
menuju kepercayaan yang matang.[3]
Teori Fowler adalah suatu teori yang
menggambarkan tujuh tahap perkembangan kepercayaan eksistensial sebagai
kejadian penting menentukan perjalanansetiap orang.Oleh karena itu, dia
menjelaskan hubungan psikologi dengan teologi melalui teori tahap perkembangan
iman[4].
2.
Teori Pemikiran Fowler
Melalui pendekatan James Fowler
terhadap Faith Development Theory (Teori perkembangan iman), dia menjelaskan
bahwa Faith tidaklah identik dengan “agama” (religion). Faith merupakan
kepercayaan eksistensial pribadi atau iman, dan merupakan usaha psikologis
ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh dinamika proses perkembangan
tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Sedangkan agama merupakan
sebagai sebuah tradisi kumulatif tertentu yang bersifat historis, budaya dan
kultus dimana suatu masyarakat tertentu melalui khazanah simbol, upacara, norma
etis dan ekspresi estetis secara resmi.[5] Dalam buku Rahmat Subagya kepercayaan
terdiri dari unsur kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan.[6] L.
Orange menyatakan bahwa agama merupakan suatu filsafat karena berasal dari
konspe manusia itu sendiri.[7] Oleh
karena itu kepercayaan dan agama adalah hal yang berbeda. Sehingga menurut
Fowler perbedaan ini merupakan hal yang sangat penting. Pendekatan perkembangan
kepercayaan melalui beberapa tahap pendekatan diantaranya adalah:
Tahap ini
adalah tahap 0 atau pratahap (pre-stage yaitu masa orok, bayi 0-2 tahun) atau
disebut juga dengan kepercayaan yang belum terindefikasi karena bayi belum
mengenal dan merasakan lingkungannya. Dasar kepercayaannya, keberanian, harapan
dan cinta belum dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling
tercampur satu sama lain dalam suatu keadaan kesatuan yang samara-samar. Pola
kepercayaan ini disebut elementer, awal dan dasariah.Rasa kepercayaan elementer
ini timbul dengan spontan yang bersifat pralinguistis (preverbal) sebelum
munculnya kemampuan berbahasa yang terdapat di lingkungan sekitar dan yang
setia merawatnya (orangtua terutama ibu).Sama halnya dengan pemahaman Erikson
yang berpandangan bahwa masalah psikoanalisis dan pertumbuhan manusia berasal
usul pada masa kanak-kanak, percaya dasariah diperoleh dari ibu.[9] Si anak memperoleh kasih pertama
kanak-kanak, percaya dasariah diperoleh dari ibu..karena ibulah yang
menggunakan banyak waktunya untuk anaknya serta menyiraminya dengan kasih yang
tulus. Anak disini membutuhkan kasih tanpa syarat sehingga butuh dikasihi
sebagai pribadi yang unik.Oleh karena itu, epran yang paling utama disini
adalah peran ibu.
Psikologi yang juga berpusat dari
simbol ibu adalah Carl Jung merupakan salah satu tokoh psiko-analisis.Psikologi
Jung dikatakan dengan psikologi statis yang mengutamakan fase pra-oedipus,
yakni fase narsisme pertama serta ikatan arkahis dengan ibu.Sedangkan psikologi
Freud merupakan psikologi dinamis karena Freud menggarisbawahi pentingya
konflik dalam perkembangan manusia, khususnya konflik Oedipus.[10] Oleh karena itu Vergote mengatakan bahwa
psikologi Freud berkisar apda simbol bapak (bapaklah tokoh yang paling dominan
dalam fase-oedipus) sedangkan psikologi Jung berkisar pada simbol ibu, karena
tokoh ibulah yang berperan pusat dalam pra-oedipus.
Psikologi yang dikembangkan
oleh tokoh psiko-analisis yang termasyur bolah dikatakan berpusat pada simbol
ibu adalah Jung dengan sebutan psikologi simbol ibu.Psikologi Jung dikatakan
dengan psikologi statis yang mengutamakan fase pra-oedipus, yakni fase narsisme
pertama serta ikatan arkhais dengan ibu.Sedangkan psikologi Freud merupakan
psikologi dinamis karena Freud menggarisbawahi pentingnya konflik dalam
perkembangan manusia, khususnya konflik-oedipus. Oleh karena itu Vergote
mengatakan bahwa pskologi Freud berkisar pada simbol bapak (Bapaklah
tokoh yang paling dominant dalam fase-oedipus) sedangkan psikologi Jung
berkisar pada simbol –ibu, karena tokoh ibulah yang berperan pusat dalam fase
pra-oedipus.
Carl Jung berpendapat bahwa
melambangkan Allah, sang ibu tidak kalah pentingnya dengan sang bapak. Anggapan
ini dapat kita hubungkan teorinya dengan agama yang manyatakan bahwa pendorong
agama ialah hasrat untuk manusia dilahirkan kembali menjadi dirinya sendiri,
menjadi utuh pula.Oleh karena itulah di dalam dan oleh ibulah manusia
dilahirkan kembali menjadi dirinya sendiri.[11]
Pengalaman kepercayaan akan Allah
transenden selaku Wujud Tertinggi yang mahacinta, mahakuasa, dan mahabijaksana
tergantung kepada siapa kita merasa diri bergantung secara radikal dalam sikap
setia dan percaya, telah digariskan dan dikembangkan oleh diri pengasuh utama.
Pengasuh utama akan mempengaruhi juga gambaran asli tentang Allah sebagai
Ibu-Bapak. Disini tidak hanya menyadari adanya ambivilensi dan ambiguitas dalam
hidup dan realitas manusia, tetapi juga pada Allah sendiri menurut bayangan
kita.[12]
Daya imajinasi dan dunia gambaran
sangat berkembang.Tetapi pada tahap ini, anak belum memiliki kemampuan operasi
logis yang mantap, sehingga daya imajinasi berkembang secara bebas.Daya
imajinasi dirangsang oelh cerita, gerak, isyarat, upacara, dimbol dan
kata-kata.Semua ini diperhatikan oleh anak-anak dengan sungguh-sungguh.Sehingga
kemampuan dan minat anak terhadap misteri yang suci diarahkan da dibina
persepsinya mengenai pandangan dan keyakinan religious orang dewasa.Dunia
gambaran dan imajinasi ini menguasai seluruh hidup afektif dan kognitif yang
mendasari pola kepercayaan si anak.Tahap pertama yang praverbal diakhiri dengan
timbulnya kesanggupan berbahasa kira-kira pada umur 2 tahun, walaupun
pembendaharaan kata-kata masih terbatas.Oleh karena itu, eprlu pembimbingan
dari orang dewasa yang berada di dekatnya.
Allah digambarkan menurut alam
fantasi pra-antromorf. Artinya, anak mencoba menerapkan berbagai ide seperti
yang tidak kelihatan seperti roh, angina, udara, dan lain sebagainya untuk
menggambarkan Allah yang mempengaruhi dunia secara fisik dan substansial. Namun,
biarpun Allah dilukiskan secara pra-antromorf (misalnya Allah bagaikan udara,
Dia ada dimana-mana, anak juga memahami Allah sebagai suatu pribadi. Misalnya:
saya mencintai-Nya sehingga Pribadi Allah digambarkan menurut aspek-aspek
fisik. Misalnya: Allah berpakaian putih. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa
anak memahami Allah melalui campuran antara gambaran antromorf dan
pra-antromorf.[14]
Masa ini adalah masa usia sekolah.
Pada tahap ini gambaranm emosional dan imajinasi masih berpengaruh kuat.Namun
muncul operasi-operasi logis baru yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi
dari tahap sebelumnya.Bentuk berpikir yang agak episodis dan intuitif (tahap ke
II pun ditinggalkan). Anak belajar melepaskan diri dari egosentrisnya mulai
dengan membedakan perspektif dirinya dengan orang lain. berkat gaya logikanya
yang baru dan pengambilan perspektif orang lain tersebut, maka anak sanggup
memandang religiusnya dengan tolok ukur logikanya sendiri. Tetapi pada tingkat
moral, anak belum mampu menyusun dunia bati atau interioritas yaitu seluruh
perasaan, sikap dan prosess penuntun batiniah yang dimilikinya sendiri.
Pandangan moralnya menuntut bahwa yang baik harus dihadiahi dan yang
jahat harus dihukum. Seringkali anak menyusun gambaran menegnai lingkungan yang
ultimo atau Allah seturut analogi seorang penguasa dan orangutan yang selalu
bersikap memelihara, terutama bersikap adil dan jujur.
Semua tokoh dan pelaku yang
memainkan peran dalam cerita selalu dilukiskan Allah secara
antromorf.Penggambaran yang bercorak antromorf ini diproyeksikan kepada Allah
yang diapndang sebagai Raja pembuat undang-undang yang pertimbangan moralnya
didasarkan pada sikap fairness (kejujuran, keadilan, kewajaran).[16] Aspek yang paling penting pada tahap ini
adalah bahwa anak dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui
cerita rakyat dan hikayat. Bahan naratif tersebut menjadi medium yang paling
digemari menciptakan dan mendapatkan arti. Namun, anak menangkap dan menafsirkan
seluruh cerita, simbol, pendapat, dan keyakinan kepercayaan orang lain serta
kelompok-kelompoknya masih terbatas, sebab anak masih memahami semuanya itu
secara harfiah, konkret, dan mampu berpikir secara induktif sehingga pantas
disebut sebagai seorang yang empiris. Berbeda dengan anak intuitif-proyektif
yang mencampurkan fakta, fantasi dan perasaan, sedangkan tahap ini yaitu
mistis- harfiah berusaha keras dan efektif untuk memisahkan yang real dari
seolah-olah yang nyata.Tahap ini juga mampu menuangkan pengalamannya dalam
bentuk cerita.
Tahap ini muncul pada masa adoselen
(umur 12-20 tahun).Sekitar umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu
perubahan radikal dalam caranya sendiri memberi arti.Erikson menyatakan bahwa
pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan ekkacauan peran. [18] Krisis identitas tercipta oleh runtuhnya
dunia kanak-kanak. Pencapaian identitas itu terjadi di tengah-tengah krisis
yang hebat.[19] Karena
munculnyaoperasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara kritis
riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidupnya bagi dirinya sendiri. Upaya
menciptakan operasi-operasi formal ini makna baru (sintesis) menyebabkan remaja
sangat tertarik pada ideologi dan agama.Agamalah yang menciptakan kerangka
makna eksistensial yang terdalam dan terakhir. Remaja berjuang menciptakan
suatu sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung
proses pembentukan identitas diri dan memungkinkan munculnya rasa
kesetiakawanan, kesetiaan dan kepercayaan kepada orang lain. pola kepercayaan
ini disebut dengan Fowler dengan konvensional. Tetapi pembentukan identitas
diri ini disebut Fowler dengan konvensional.Tetapi pembentukan identitas diri
ini, menjadi krisis yang paling utama pada tahap kepercayaan
sintesis-konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini, menjadi krisis
yang paling utama pada tahap kepercayaan sintesis-konvensional karena remaja
akan bingung dan sulit menemukan jati dirinya karena gambaran-gambaran dari
luar disatukan dengan dirinya dengan gambaran yang heterogen, baik itu dari
masyarakat, keluarga, sahabat (psikososial).
Pada tahap ini juga remaja akan
menyusun gambaran yang agak personal mengenai lingkungan akhir. Artinya, Allah
tidak lagi dibayangkan menurut model antromorf semata-mata seperti pada tahap
sebelumnya yaitu tahap kepercayaan mistis-harafiah. Akan tetapi akan disusun
menurut paradigma “hubungan antar pribadi mutual” yaitu Allah yang “personal”
merupakan seorang pribadi yang mengenal diri saya secara lebih baik daripada
pengenalan diri saya sendiri. Sehingga remaja dapat mengandalkan Allah sebagai
sahabat karib, penyelamat, dan Allah sebagai Pribadi yang mengenal dan memahami
remaja. Selaku sahabat Unggul yang paling akrab, Allah juga dipandang sebagai
Kepribadian ulung yang secara istimewa memilki kedalaman hidup batin yang kaya,
berlimpah ruah dan penuh misteri yang tidak ada batasnya.
5.
Tahap 5: Kepercayaan
individuatif-Reflektif (masa dewasa awal dan sesudahnya, umur 18 tahun dan
seetrusnya)[20]
Paling cepat berumur 18 tahun, atau
biasanya pada umur sekitar 20 tahun, seklai lagi mengalami perubahan yang
mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Tahap ini ditandai dengan lahirnya
refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai agama yang
lama.pribadi sudah mampu melihat sendiri dan orang lain sebagai bagian dari sistem
kemasyarakatan, tetapi bahwa dia sendirilah yang memikul tanggungjawab atas
peentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk
mengikatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan
panggilan tugas. Pada tahap ini orang dewasa muda sangat tanggap dan peka
terhadap macam pemimpin ideologis dan kharismatis yang pastinya membutuhkan
kebenaran logis sehingga pada tahap ini diperlukan pempimbing yang cerdas untuk
menerapkan kebenaran dengan kehidupan yang nyata dalam pelayanan yang mereka
lakukan sesuai dengan bakat mereka untuk melayani Tuhan.
Kepercayaan pada tahap ini disebut
dengan “individuatif” karena baru saat inilah pertama kalinya dalam refleksi
diri tidak semata-mata bergantung pada orang lain. Pribadi mengalami diri
autentik dan mandiri.Tahap ini juga sudah bersikap kritis terhadap
simbol.Simbol tidak lagi dianggap identik dengan yang sakral, tetapi
memahaminya secara rasional.
6.
Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial
Konjungtif (usia setengah dan selanjunya umur minimum sekitar 35-40
tahun)
Ini timbul pada usia pertengahan (sekitar 35 tahun keatas). Semua yang
diupayakan di bawah kuasa kesadaran dan pengotrolan rasio pada tahap sebelumnya
kini ditinjau kembali. Batas-batas sitem pandangan hidup dan identitas
diri yang jelas, kaku, dan tertutup kini menjadi luntur dan kembali
samara-samar.Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru
terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat
kebenaran diri dan hidupnya. Kini perhatian utama ditujukan upaya mmebuat
hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber
ketidaksadarannya dan melampaui egosentrismenya yang tertutup menuju
perngabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain. ia menjadi
lebih peka terhadap fakta bahwa hidup lebih merupakan anugerah pemberian
daripada hasil upaya rasional.[21] Tahap
ini menyadari bahwa semua kehidupan yang dialaminya dan merupakan anugerah
bukan dari kekuatan hasil usaha, kerja keras yang dimilikinya selama ini,
melainkan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan.
Pada tahap ini juga sang pribadi mencapai tingkat kepolosan kedua yang meresapi
rasa tanggap baru terhadap segala arti simbol, bahasa, kiasan, cerita, mitos,
methapor dianggap sebagai saarna untuk memahami kebenaran. Segala simbol dan
upacara dipandang sebagai jalan perantara sah yang mampu mengangakt hati
manusia kepada yang Ultim dan Allah dihayati sebagai wujud yang sungguh-sunguh
pribadi.
7. Tahap ke 7: Kepercayaan yang mengacu
pada universalitas (usia pertengahan dan selanjutnya, sekitar 45 tahun).
Kepercayaan ini mengacu pada
universalitas sebenarnya jarang terjadi, dan jika terjadi umumnya berkembang
sesudah umur 30 tahun atau berkembang pada umur 45 tahun keatas. Pribadi
melampaui tingkat paradoks dan polaritas karena gaya hidupnya langsung berakar
pada kesatuan Yang Ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang
terdalam. Identifikasi dan partisipasi yang hidup mungkin karena pribadi
berhasil mengosongkan diri (kenosis) dan memandang bahwa ego adalah pusat,
titik acuan, dan tolak ukur kehidupan yang mutlak. Karena partisipasi Yang
Ultim, sumber satu-satunya dari segala nilai, kognisi etis, keterlibatan dan
tanggubgjawab, perasaan, epmikiran dan pandangan religius biasa, semuanya itu
hendak diubah melalui perspektif universalitas (yang tidak lain adalah
perspektif transenden Allah).
Gaya hidup diliputi semangat cinta
inklusif dan universal terhadap segala gejala hidup dan makhluk hidup. Oleh
karena itu, perjuangan akan kebenaran, keadilan, kesatuan sejati berdasarkan
cinta universal ini menyerupai daya dan dinamika Kerajaan Allah. Pribadi yang
berada dalam kepercayaan eksistensial universal ini seolah-olah mata, tangan,
dan mulut yang mewujudkan cinta dan perspektif abadi dari Yang Transenden
(Allah). Dalam kerangka, pribadi semacam ini disebut orang kudus atau saleh dan
nabi.[22]
C. Perkembangan Spiritual Manusia dalam
Persfektif Al Ghazali
1. Biografi
Singkat Al Ghazali
Al
Ghazali mempunyai nama asli Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad,
dilahirkan di kota Thus, Khurasan, wilayah Persia pada tahun 450
H/1085 M.[23]
Mengenai sebutan
Al Ghazali, berasal
dari dua
kemungkinan,
yaitu berasal dari nama desa tempat lahirnya Gazalah, oleh sebab itu sebutannya ialah Al Ghazali (dengan satu
“z”). kemungkinan yang kedua berasal dari pekerjaan sehari-hari yang
dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya yaitu seorang penenun dan penjual kain
tenun dinamakan Gazzal, oleh sebab
itu panggilannya Al Ghazali (dengan dua “z”)[24]
. Ayah Al Ghazali, adalah seorang ahli tasawuf yang saleh. Sebelum ayahnya
meninggal, ia dan saudaranya ketika masih kecil diserahkan kepada seorang ahli
tasawuf yang kelak akan mendidiknya.
Karena perbekalan untuk mendidik Al Ghazali dan saudaranya yang dibawa
oleh ahli sufi tersebut habis, maka mereka dititipkan di asrama pendidikan di
kota Thus. Ia berguru kepada Razakani Ahmad bin Muhammad tentang ilmu fiqh dan
kepada Yusuf en Nassa4j tentang ilmu tasawuf[25].
Kemudian di Durjan[26],
ia berguru kepada Nashar el Ismaili, setelah itu ke Nisyarpur menjadi murid
imamul Haramayn al Juwayni, guru besar madrasah Nizamiyyah Nisyapur. Disinilah.
Ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan : ilmu logika, ilmu kalam, filsafat,
ilmu alam dan lain-lain. Kemudian ia pindah ke Bahgdad, kota pusat kebudayaan
Islam pada masa itu. Di sini ia mulai mengajarkan ilmunya dan mulai termasyhur.
Dengan kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadinya, ia mendapat perhatian dari
Perdana Menteri Nizam al Mulk yang pada masa itu memerintah dibawah dinasti
Sultan-sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan perdana menteri itu, pada tahun 484 H,
ia menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyyah Baghdad selama lima tahun[27].
Pendidikan
dan kedudukan serta situasi pada masa itu, dimana muncul berbagai macam aliran
agama dan filsafat, masing-masing saling bertentangan dan merasuki dalam bidang
keislaman[28], tampaknya begitu dominan mempengaruhi
pemikiran-pemikirannya. Tetapi pengaruh tersebut tidak lama menyelip pada
dirinya, karena kemudian timbul pergolakan-pergolakan di dalam bathinnya,
antara ilmu dan amal.
Pergolakan tersebut
membuatnya sakit, dokter tidak bisa menyembuhkan, karena
penyakitnya berasal dari
dalam. Oleh karena itu, ia mengobatinya dengan kekuatan jiwa
sendiri dengan minta pertolongan kepada Allah. Akhirnya pada tahun 489 H,
setelah sembuh dari sakitnya, Al Ghazali menemukan jalan hidup baru, yang
diyakininya sebagai ilham dan petunjuk Allah. Ia meninggalkan kemewahan, harta
kekayaan, kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke
Suria. Di Damaskus, ia berkhalwat selama dua tahun 490 H. kemudian menuju
Palestina, tepatnya Hebron dan Yerussalem. Pada tahun 492 H, ia menuju Mesir
(mengembara) yang saat itu di Kairo telah
di kenal dengan Universitas Al Azhar (berdiri 362 H / 972 M). Setelah
itu Al Ghazali menuju Mekkah dan Madinah (ziarah ke makam Rasulullah dan
menunaikkan ibadah haji). Setelah sekian lama di dalam pengembaraan akhirnya ia
pulang kembali ke Baghdad. Ia diminta oleh Perdana Menteri Nizam al Mulk untuk
menjadi Guru Besar pada Universitas Nizamiyyah yaitu pada tahun 500 H/1106 M[29].
Menurut Margareth Smith M.A. Ph.D., permintaan tersebut ditolak Al Ghazali[30].
Menurut Jamil Ahmad, seorang penulis buku Hundred
Great Muslims walaupun istana Saljuk terus menerus mengundang dia untuk
membimbing peningkatan ilmu dikawasan mereka (Universitas Nizamiyyah), Al
Ghazali sama sekali tidak mau berhubungan dengan penguasa itu, dan melanjutkan
kegiatan mengajar di kota kelahirannya (Tus) sampai wafat[31] . Sesudah mengarungi lautan hidup yang luas
itu, menyelami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tahun
1111 M/505 H. Al Ghazali meninggal dunia.
2. Teori Pemikiran Al-Ghazali
Di dalam dunia kehidupan terkhusus
dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem
pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari seorang pemikir. Sebab ia
termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui
sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan
untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Menurut R.G.
Collingwood konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu
saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi
pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia.[32] Di dalam sejarah pemikiran islam,
pandangan yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf.
Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin
yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap
filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang
lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu
Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).[33]
Berdasarkan hal ini,
maka dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang Manusia dalam Perspektif
Al-Ghazali yang meliputi, diantaranya : (1) Hakikat Manusia, (2) Hikayat Insan,
dan (3) Sifat Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya. Semoga dengan kajian
ini kita dapat mengetahui pola pemikiran dari Al-Ghazali tentang manusia yang
dapat membangkitkan kembali pemikiran intelektual dari kaum muslim.
1. Hakikat
Manusia
Hakikat berasal dari kata Arab Al-haqiqat,
yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir
Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak
berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya
sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[34] Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir
merumuskan hakikat manusia adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof,
yaitu mabda’ al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan
sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik
dengan dirinya sendiri.”[35] Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa
segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan
menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian ilmu, manusia sebagai
individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain
(materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam diri manusia ada jiwa,
bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun, apakah jiwa itu substansi
yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan fungsi atau aktivitas jasad
dengan organ-organnya.[36]
Lebih lanjut, Al-Ghazali
menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism. Al-nafs adalah
substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah panas alam di (al-hararat
al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan
syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi.[37] Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling
tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada
suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama
sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami),[38]
yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu, Al-Ghazali juga
menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai dimensi dan substansi
(tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.
Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di sini, ia tidak
membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas alami, tetapi
ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs dalam arti esensi
manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs
al-hayawaniyyat (jiwa sensitif).[39]
Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama
oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama
dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs
al-nathiqah)sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan.
Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan
kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang
inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk
mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa.[40]
Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada
apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan
potensi-potensinya.
Disamping itu, berdasarkan proses
penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan
immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As Sajadah/32:7) dan
komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29). Kesatuan ini
memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana),
dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya,
termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).[41]
Demikianlah pandangan Al-Ghazali
tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan jiwa. Dimana, badan
hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang
mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan
apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan
menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti
yang akan menikmati dan merasakan bahagia atau sengsaranya di akhirat
kelak.
2. Hikayat Insan
Menurut Al-Ghazali sekalipun manusia
itu termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik dalam arti luar maupun dalam,
akan tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat keadaan yang sangat menakjubkan
bagi dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan. Yang dimaksud dengan ilmu ialah kekuatan
untuk membina, mempunyai daya cipta yang tidak bisa diraba dan memiliki hakikat
kecerdasan. Dengan kemauan atau kehendak yang dimaksud disini ialah nafsu,
keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan setelah diputuskan oleh pertimbangan
akal yang sehat tentang segala akibatnya.[42]
Dengan melihat keadaan dan sifat
yang telah penulis sebutkan diatas. Maka hal inilah yang membawa perbedaan
antara manusia dengan hewan. Karena pada binatang atau hewan sekalipun ia
mempunyai keinginan juga, namun hewan tidak mempunyai pertimbangan akal.
Tabi’at manusia menurut Al-Ghazali
ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang dikenal dengan nama
kebinatangan, kekasaran, kesyeitanan dan kemalaikatan (kesucian). Oleh karena
itu, maka tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang itu muncul
perbuatan-perbuatan seperti babi, anjing, syaitan dan alim. Sifat babi
menggambarkan keserakahan yang menjijikan, bukan dalam hal bentuk dan
potongannya akan tetapi dalam kegemaran makan diluar kepantasan. Hanya untuk
melepaskan lahap dan nafsunya saja. Kelakuan anjing menggambarkan sifat suka
melepaskan hawa nafsu kemarahan, dengan perbuatannya mengonggong dan mengigit
yang menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pihak lain. Kelakuan syaitan
menggambarkan sifat-sifat yang suka menghasu-hasut, mengaburkan faham dan
pengertian yang dimiliki oleh pandangan akal-budi yang sehat dari sifat-sifat
kesucian dan ajaran keagamaan, digodanya dan dihasut-hasutnya serta dibujuknya
oleh syaitan itu dengan hiasan-hiasan, janji dan kepalsuan. Akal budi yang
bersih yang bersih bila dimilikinya selalu bertujuan untuk menolak setiap
ajakan dan pengaruh dari sifat-sifat buruk yang ada pada syaitan. Ia akan
mengawasi terlebih dahulu ajakan hawa nafsu yang murka.[43]
Terlihat jelas dari uraian diatas
apabila akhlak manusia itu merosot, tidak mau mentaati perintah agama dan akal
budi yang suci bersih. Maka ia akan dipengaruhi oleh ketiga sifat diatas yaitu
kebinatangan, kekasaran dan kesyaitanan yang akan membawanya ke jurang
kehancuran dan kebinasaan.
3. Sifat
Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya
Tinjauan filsafat yang lebih
menonjol terhadap perbuatan manusia, menurut Al-Ghazali adalah yang menyangkut
kebebasan perbuatan manusia dilihat dari segi efektivitasnya. Pandangan
terhadap hal ini mempunyai akar pada konsepsi tentang hakikat manusia dan daya-daya
yang dimilikinya. Perbuatan-perbuatan itu merupakan hasil determinasi
kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Manusia dalam hal ini adalah tempat
berlakunya kekuatan-kekuatan itu.[44]
Di dalam Islam, menurut Al-Ghazali
segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dari seleranya yang terendah
sampai kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di
dalam mencapai tujuan akhirnya. Dengan mengecualikan “roh”, setiap sifat yang
dimiliki manusia mempunyai dua bisikan hati, yakni : Pertama, untuk
mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar
tercapainya kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya
terhadap perkembangan pribadinya secara utuh. Kedua, dalam rangka
memainkan perannya di dalam suatu keselarasan, yang diperlukan antara segala
sesuatu yang menjadi dasar kepribadian manusia.[45]
Disini terlihat jelas aspek yang pertama itulah yang dapat membuat diri
manusia sulit untuk mencapai tujuan hidupnya secara baik.
Al-Ghazali seringkali memperingatkan
kita bahwa pengembangan keutuhan diri membutuhkan banyak pengalaman dan
pengetahuan yang luas tentang sifat-sifat manusia. Oleh karena itu, sangatlah
utama bagi seseorang yang menginginkan kebebasan demikian supaya meneliti
rahasia kepribadian manusia dan untuk memahami dasar-dasarnya ia harus tahu
kualitas, karakteristik dan sifat yang terdapat pada kepribadian tersebut, agar
mengetahui tempat di mana keagungan kepribadian itu berada dan juga mengetahui
tempat kemungkinan adanya kerusakan dan kehancuran kepribadian.[46]
Menurut Muhammad Yasir Nasution,
pengetahuan tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang diketahui itu. Kegiatan
mengetahui melibatkan tiga hal yaitu : subyek yang mengetahui, obyek yang
diketahui dan pengetahuan (realitas subyektif). Dan lebih lanjut, menurut
Al-Ghazali kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu obyek dalam
wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens dan atribut-atribut tambahan
yang menyelebungi hakikatnya. Ketika subyek berhubungan dengan obyek yang ingin
diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran (qadar), cara (kayf),
tempat dan situasi.[47]
Dengan demikian menurut hemat
penulis maka proses abstraksi ini memperlihatkan indera sebagai pintu masuk
pengetahuan dan akal sebagai tempat pengetahuan tertinggi.
D. Kesimpulan
Pendekatan perkembangan kepercayaan menurut
Fowler melalui beberapa tahap pendekatan diantaranya adalah:
1.
Tahap 1:
kepercayaan elementer awal (Primal Faith) 0-2 tahun.
2.
Tahap 2:
Kepercayaan intuitif- Proyektif
3.
Tahap 3:
Kepercayaan Mistis Harafiah (6-11 tahun)
4.
Tahap ke
4: Kepercayaan Sintesis-Konvensional (masa adoselen umur 12- masa dewasa)
5.
Tahap 5:
Kepercayaan individuatif-Reflektif (masa dewasa awal dan sesudahnya, umur 18
tahun dan seetrusnya)
6.
Tahap 6:
Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (usia setengah dan selanjunya umur
minimum sekitar 35-40 tahun)
7.
Tahap ke
7: Kepercayaan yang mengacu pada universalitas (usia pertengahan dan
selanjutnya, sekitar 45 tahun).
Manusia
dalam Perspektif Al-Ghazali, diantaranya :
(1) Hakikat Manusia;Yaitu identitas
esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya
dari yang lainnya
(2) Hikayat Insan; Sekalipun manusia itu
termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik dalam arti luar maupun dalam, akan
tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat keadaan yang sangat menakjubkan bagi
dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan.
(3)
Sifat
Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya; Segala sesuatu yang ada di dalam diri
manusia dari seleranya yang terendah sampai kelengkapan yang tertinggi,
masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai tujuan akhirnya.
[1] Agus
Cremers, Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Kerya Penting James Fowler,
Kanisius, Yogyakarta: 1995, hlm. 17.
[2]Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut
James Fowler Sebuah Gagasan Baru dalam Agama, Kanisius, Yogyakarta:
1995, hlm. 7.
[5]
Ibid., hlm. 21-22.
[6]
Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1976, hlm. 9.
[7]
Nico Syukur, Filsafat Agama Kristiani, Kanisius,
Yogyakarta: 1976, hlm. 9
[8]
Ibid., hlm27.
[9]
Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, Kanisius:
Yogyakarta, hlm. 91
[10]
Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta:
1989, hlm. 36.
[11]
Ibid., hlm. 39.
[12]
Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan,
hlm. 102.
[13]
Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan,
hlm. 28-29
[14]
Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan,
hlm. 109-110
[15]
Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan,
hlm.29
[16]
Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan,
hlm. 117-118.
[17]
Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan,
hlm. 30.
[18]
Opcit., Dialog Psikologi dan Agama, hlm.
90.
[19]
Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan,
Kanisius, Yogyakarta: 1994, hlm. 26.
[20]
Ibid., hlm. 32.
[21]
Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Karya
Penting James Fowler, hlm. 34
[22]
Ibid. Hal 40
[23]
H. Zaina Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al
Ghazali, Bulan Bintang, Jakarta, 1975. Hal. 27
[24]
Ibid, hal. 28
[25]
Ibid, hal. 31
[26]
Ahmad Hanafi, MA., Pengantar Filsafat
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal 135.
[27]
H.M.K. Bakry, Al Ghazali, Penerbit, Wijaya, Jakarta. 1962,
hal.9
[28]
Dr. Yusuf al Qardhawi, Al Imam al Ghazali
Baina Madihihi wa Naqidihi, alih bahaa Dr. Achmad Satori Ismail, Pro-kontra Pemikiran al Ghozali, Risalah
Gusti, Surabaya, 1997, hal.22
[29]
Imam Al Ghazali, Al Munqidz min Adh Dhalal, Alih bahasa,
Achmad Khudari Saleh, Kegelisahan Al
Ghazali : Sebuah Otobiografi Intelektual,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. 24
[30]
Margareth Smith, Al Ghazaly-The Mistic, alih bahasa Drs.
Amrouni, M. Ag., Pemikiran dan Doktrin
Mistis Al Ghazali, Riora Cipta,
Jakarta, 2000, hal. 27
[31]
Jamil Ahmad, Hundred Great Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus,
Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995,
hal. 100
[32]
R.G. Collingwood, The
Idea of History. Lihat : Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut
Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 1
[33]
Muhammad Yasir
Nasution, Ibid, hal. 6
[34]
Muhammad Yasir
Nasution, Ibid, hal. 71
[35]
Ahmad Riyadh Turki,
dkk., Turas Al-Insaniyyat, (Kairo :Dar Al-Katib Al-‘Arabi, Jus I,
(tth.)), hal. 494. Lihat juga Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 74
[36]
Sidi Gazalba, Ilmu,
Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,
1992), hal. 11
[37]
Al-Ghazali, Mi’raj
al-Salikin, (Kairo : Silsilat Al-saqafat al-Islamiyat, 1964), hal 16
[38]
Al-Ghazali, Ma’arij
al-Quds, (Kairo : Maktab al-Jundi, 1968), hal. 26
[39]
Al-Ghazali, Ibid,
hal. 27 & 29
[40]
Al-Ghazali, Mizan
al-‘Amal, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1964), hal. 338
[41]
Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hal. 16
[42]
Imam Al-Ghazali, Ahli
Bahasa : H. Rus’an, Intisari Filsafat cet-3, (Jakarta : PT Bulan
Bintang, 1989), hal 1
[43]
Imam Al-Ghazali, Ahli
Bahasa : H. Rus’an, ibid, hal. 5
[44]
Muhammad Yasir
Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), hal. 162
[45]
Ali Issa Othman, Manusia
Menurut Al-Ghazali, (Sirs El-Layyan : Arab States Fundamental Education
Center, 1960), hal. 121
[46]
Ali Issa Othman, Ibid,
hal. 123
[47]
Muhammad Yasir
Nasution, Log.Cit, hal 136