Jumat, 14 Februari 2020

Hubungan Aqidah dengan Syari’ah Islamiyyah


A.   Pengertian Aqidah

Aqidah (العقيدة, al-'aqīdah) dalam istilah Islam yang berarti iman. Yaitu keyakinan yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang meyakininya. Secara etimologi aqidah berasal dari kata ‘aqida-ya’qidu – ‘aqdan/aqidatan. Kaitan antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat, dan mengandung perjanjian. Jadi aqidah adalah suatu yang diyakini secara kokoh di hati seseorang dan bersifat mengikat. Makna aqidah secara bahasa lebih jelas jika dikaitkan dengan pengertian secara terminologis.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah, antara lain:
a.     Menurut Hasan Al – Banna
Aqida’ (bentuk plural dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, sehungga menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keraguan.
b.    Menurut Abu Bakar Jabir Al – Jazairy
Aqidah adalah sejumlahkebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Di dalam Al – Qur’an tidak ada satu ayat pun yang secara literal menunjuk pada kata aqidahn namun demikian terdapat beberapa istilah dengan akar kata yang sama dengan aqidah, yaitu (‘aqada), istilah tersebut antara lain; ‘aqadat, kata ini digunakan untuk menyebut sumpah setia, hal ini terdapat pada QS An – Nisaa ayat 33.
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ
 نَصِيبَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
      Aqidah menempati posisi terpenting dalam ajaran Islam. Aqidah ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Bila aqidah seseorang rusak, rusak pula seluruh bangunan Islam yang ada di dirinya. Bahkan bagian – bagian syari’at, mu’amalah, dan akhlak tak mungkin dapat ditegakkan dalam masyarakat muslim sebelum aqidah mereka lurus dan mengakar kuat di hatinya. Aqidah sangat menentukan tegaknya syari’at Islam dan akhlak kaum Muslimin.
     
Aqidah tauhid merupakan pegangan yang sangat prinsip dan menentukan bagi kehidupan manusia dunia dan akhirat. Karena tauhid merupakan pondasi bangunan agama dan menjadi dasar bagi setiap amalan yang dilakukan hamba nya . tauhid merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul. Mereka pertama kali melalui dakwanya dengan tauhid dan tauhid merupakan ilmu nyang paling mulia
     Aqidah yang bener adalah perkara yang amat penting dan kewajiban paling besar yang harus diketahui oleh seiap Muslim dan Muslimah. Karena sesungguhnya sempurna dan tidaknya satu amal , diterima dantidak diterimanya amal terseut terganutng kepada aqidah yang benar. Kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diperoleh oleh orang – orang yang berpegang pada aqidah yang benar ini dan menjauhkkan diri dari hal – hal yang menafikan dan mengurahi kesempurnaan aqidah tersebut.

1.    Ruang Lingkup Aqidah

Menurut para ulama, ada beberapa hal yang termasuk dalam ruang lingkup aqidah diantaranya:
a)      Ilahiyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan masalah ketuhanan, khususnya membahas mengenai Allah SWT.
b)     Nubuwwat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan para utusan Allah (Nabi dan Rasul Allah).
c)      Ruhaniyyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan mahluk gaib. Misalnya malaikat, iblis, dan jin.
d)     Sam’iyyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan alam gaib. Misalnya surga, neraka, alam kubur, dan lainnya.

2.    Macam – Macam Aqidah Tauhid

Aqidah terbagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:

a)    Aqidah Tauhid Rububiyah

Aqidah Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa satu – satunya pencipta adalah Allah SWT. Tauhid Rububiyah merupakan bentuk pengakuan bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi serta seisinya. Selain itu, Tauhid Rububiyah juga mengakui bahwa Allah lah yang mengatur segalanya termasuk dalam pemberian rezeki. Allah berfirman:
ربُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِۚهَلْ تَعْلَمُ لَهُ
سَمِيًّا
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”(Q.S. Maryam : 65)


b)    Aqidah Tauhid Uluhiyah

Aqidah Tauhid Uluhiyah adalah keyakinan bahwa segala macam ibadah hanya dilakukan untuk Allah SWT.
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا
 هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”( Q.S. Ali – Imran: 18)
Segala macam perbuatan atau ibadah diniatkan hanya untuk Allah SWT. bahkan ketika kita makan sekali pun, hendaknya diniatkan karena Allah agar menjadi amal ibadah dan bukan hanya sekedar sebuah kegiatan biasa saja.

c)    Aqidah Tauhid Asma wa Sifat

Aqidah ini adalah keyakinan terhadap sifat dan nama milik Allah. Sebagai seorang muslim, kita diwajibkan mengimani sifat dan nama Allah yang biasa disebut Asmaul Husna.dalam arti lain Aqidah Tauhid Asma wa Sifat adalah mengimani semua yang tertera dalam Al – Qur’an dan hadist – hadist yang shahih dari nama – nama Allah dan sifat – sifatNya.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْ
نَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”(Q. S. Al - A’raf : 180)

B.   Pengertian Syari’ah Islamiyyah

Syari’ah Islamiyyah adalah hukum dan peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hulkum dan aturan, syari’ah islamiyyah juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan di dunia ini. Semua hukum dan peraturan ini terdapat dalam Al – Qur’an dan dalam Al – Hadist, yang artinya pedoman dan petujuk hidup manusia terdapat dalam Al – Qur’an dan Al – Hadist.Secara umum Syari’ah Islamiyyah dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.

1.     Syari’ah Dalam Arti Luas

Dalam arti luas “Al – Syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma – norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal – formal) yang individual dan kolektif.Dalam arti ini,  al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya

2.     Syari’ah Dalam Arti Sempit

Dalam arti sempitsedangkan dalam arti sempit “Al – Syari’ah” berarti norma- norma yang mengatur sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian ini, Al – Syari’ah dibatasi meliputi ilmu fikih dan usul fikih.
Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain dalam surat Al Ahzab ayat 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab ayat 36)
Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101)yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
a)    Asas Syara’
Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara' dan Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya,  mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.

b)    Furu’ Syara’
Furu' Syara' Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al – quran ataupundalam Al – Hadist. Sifat pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat, menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah tertentu.

3.     Ruang Lingkup Syari’ah

a)    Realisasi dari pada keyakinan akan kebenaran ajaran agama islam kedalam kehidupan di dunia ini disebut ibadah. Ibadah dalam arti khas (Qa’idah ‘Ubudiyah), yaitu tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya, yang cara , acara, tata-cara dan upacaranya telah ditentukan secara terperinci dalam al-Quran dan sunnah rasul. Pembahasan mengenai ‘Ibadah dalam arti khusus ini biasanya berkisar sekitar: thaharah, shalat, zakat, puasa, haji.
b)    Syariah yang mengatur hubungan manusia secara horizontal, dengan sesama manusia dan makhluk lainnya disebut muamalah. Muamalah meliputi ketentuan atau peraturan segala aktivitas hidup manusia dalam pergaulan dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya.  Kedudukan Syari’ah dalam pokok ajaran Islam. Syari’ah merupakan bukti aqidah yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan perbuatan. Perbuatan tersebut dilakukan manusia semenjak lahir sampai mati dalam ruang waktu kehidupan dunia ini. Semenjak manusia terbangun dari tidur hingga tidur kembali dalam waktu 24 jam, perbuatan manusia dibingkai oleh nilai nilai transendental thaharah dan shalat.Umumnya manusia beristirahat malam hari dan bekerja pada siang hari. Hasil pekerjaan tersebut disyukuri dengan cara berbagi kepada orang yang tidak mampu bekerja. Nilai nilai transedental zakat melandasi setiap tetes keringat yang keluar dari tubuh manusia karena kerja keras mereka pada saat terjaga.


C.   Hubungan Antara Aqidah dengan Syari’ah Islamiyyah

Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Ada juga yang menyatakan bahwa hubungan aqidah dengan syariat adalah hubungan di antara budi dan perangai. Dalam undang-undang budi, suatu budi yang tinggi hendaklah dilatihkan terus supaya menjadi perangai dan kebiasaan. Kalau seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, niscaya dengan sendirinya kepercayaan itu mendorongnya supaya mencari perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela oleh Tuhan. Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.
Inilah aqidah yang kuat, aqidah yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini telah dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mukmin yang semacam ini telah mempunyai prinsip yang benar dan kokoh. Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang dengan penuh rasa tanggungjawab dan waspada dalam segala urusan. Apabila mereka berada di atas dasar kebenaran, maka ia dapat bekerja sama dengan mereka. Kalau ia melihat mereka menyimpang dari jalan yang benar, maka ia mengambil jalan sendiri.
            Kemantapan iman dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa al-Allah (Tiada tuhan selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah; dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah. Pendket kata, kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah dari Allah. Al-Maududi mengemukakan beberapa pengaruh kalimat tauhid ini dalam kehidupan  manusia :
a)    Manusia yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan sempit dan berakal pendek.
b)    Keimanan mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai manusia.
c)    Bersamaan dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke dalam diri manusia rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
d)    Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar.
e)    Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang bagaimanapun.
f)     Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya teguh kepada Allah SWT.
g)    Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia.
h)    Keimanan terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
i)      Pengaruuh yang terpenting adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah.


D.   Kesimpulan

Aqidah (العقيدة, al-'aqīdah) dalam istilah Islam yang berarti iman. Yaitu keyakinan yang tegyh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang meyakininya. Secara etimologi aqidah berasal dari kata ‘aqida-ya’qidu – ‘aqdan/aqidatan. Kaitan antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat, dan mengandung perjanjian. Jadi aqidah adalah suatu yang diyakini secara kokoh di hati seseorang dan bersifat mengikat
Syari’ah Islamiyyah adalah hukum dan peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hulkum dan aturan, syari’ah islamiyyah juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan di dunia ini. Semua hukum dan peraturan ini terdapat dalam Al – Qur’an dan dalam Al – Hadist, yang artinya pedoman dan petujuk hidup manusia terdapat dalam Al – Qur’an dan Al – Hadist. Secara umum Syari’ah Islamiyyah dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.

DAFTAR PUSTAKA





Tidak ada komentar:

Posting Komentar