A. Pengertian
Aqidah
Aqidah (العقيدة, al-'aqīdah)
dalam istilah Islam yang berarti iman. Yaitu keyakinan yang teguh dan
pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang meyakininya. Secara
etimologi aqidah berasal dari kata ‘aqida-ya’qidu – ‘aqdan/aqidatan. Kaitan
antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul
dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat, dan mengandung perjanjian. Jadi aqidah adalah suatu yang diyakini secara
kokoh di hati seseorang dan bersifat mengikat. Makna aqidah secara bahasa lebih jelas jika dikaitkan dengan pengertian
secara terminologis.
Secara terminologis terdapat beberapa
definisi aqidah, antara lain:
a.
Menurut Hasan Al – Banna
Aqida’ (bentuk plural dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya
oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, sehungga menjadi keyakinan yang tidak
bercampur sedikitpun dengan keraguan.
b.
Menurut Abu Bakar Jabir Al – Jazairy
Aqidah adalah sejumlahkebenaran yang dapat diterima secara
umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan
oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara
pasti dan ditolak sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Di dalam Al –
Qur’an tidak ada satu ayat pun yang secara literal menunjuk pada kata aqidahn namun demikian terdapat beberapa
istilah dengan akar kata yang sama dengan aqidah,
yaitu (‘aqada), istilah tersebut
antara lain; ‘aqadat, kata ini
digunakan untuk menyebut sumpah setia, hal ini terdapat pada QS An – Nisaa ayat
33.
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ
نَصِيبَهُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Aqidah
menempati posisi terpenting dalam ajaran Islam. Aqidah ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Bila aqidah seseorang rusak, rusak pula
seluruh bangunan Islam yang ada di dirinya. Bahkan bagian – bagian syari’at,
mu’amalah, dan akhlak tak mungkin dapat ditegakkan dalam masyarakat muslim
sebelum aqidah mereka lurus dan
mengakar kuat di hatinya. Aqidah sangat
menentukan tegaknya syari’at Islam dan akhlak kaum Muslimin.
Aqidah
tauhid
merupakan pegangan yang sangat prinsip dan menentukan bagi kehidupan manusia
dunia dan akhirat. Karena tauhid merupakan pondasi bangunan agama dan menjadi
dasar bagi setiap amalan yang dilakukan hamba nya . tauhid merupakan inti dakwah
para Nabi dan Rasul. Mereka pertama kali melalui dakwanya dengan tauhid dan
tauhid merupakan ilmu nyang paling mulia
Aqidah yang bener adalah
perkara yang amat penting dan kewajiban paling besar yang harus diketahui oleh
seiap Muslim dan Muslimah. Karena sesungguhnya sempurna dan tidaknya satu amal
, diterima dantidak diterimanya amal terseut terganutng kepada aqidah yang benar. Kebahagiaan dunia dan
akhirat dapat diperoleh oleh orang – orang yang berpegang pada aqidah yang benar ini dan menjauhkkan
diri dari hal – hal yang menafikan dan mengurahi kesempurnaan aqidah tersebut.
1.
Ruang Lingkup Aqidah
Menurut para ulama, ada beberapa hal
yang termasuk dalam ruang lingkup aqidah diantaranya:
a)
Ilahiyat,
yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan masalah ketuhanan, khususnya
membahas mengenai Allah SWT.
b) Nubuwwat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan para utusan
Allah (Nabi dan Rasul Allah).
c)
Ruhaniyyat,
yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan mahluk gaib. Misalnya malaikat,
iblis, dan jin.
d) Sam’iyyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan alam gaib.
Misalnya surga, neraka, alam kubur, dan lainnya.
2. Macam – Macam Aqidah Tauhid
Aqidah
terbagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:
a) Aqidah Tauhid Rububiyah
Aqidah Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa satu – satunya pencipta
adalah Allah SWT. Tauhid Rububiyah merupakan bentuk pengakuan bahwa Allah
adalah pencipta langit dan bumi serta seisinya. Selain itu, Tauhid Rububiyah
juga mengakui bahwa Allah lah yang mengatur segalanya termasuk dalam pemberian
rezeki. Allah berfirman:
ربُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِۚهَلْ تَعْلَمُ لَهُ
سَمِيًّا
“Tuhan
(yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka
sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”(Q.S. Maryam : 65)
b) Aqidah Tauhid Uluhiyah
Aqidah Tauhid Uluhiyah
adalah keyakinan bahwa segala macam ibadah hanya dilakukan untuk Allah SWT.
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ
لَا إِلَٰهَ إِلَّا
هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(
Q.S. Ali – Imran: 18)
Segala
macam perbuatan atau ibadah diniatkan hanya untuk Allah SWT. bahkan ketika kita
makan sekali pun, hendaknya diniatkan karena Allah agar menjadi amal ibadah dan
bukan hanya sekedar sebuah kegiatan biasa saja.
c) Aqidah Tauhid Asma wa Sifat
Aqidah ini adalah keyakinan
terhadap sifat dan nama milik Allah. Sebagai seorang muslim, kita diwajibkan
mengimani sifat dan nama Allah yang biasa disebut Asmaul Husna.dalam arti lain Aqidah Tauhid Asma wa Sifat adalah
mengimani semua yang tertera dalam Al – Qur’an dan hadist – hadist yang shahih
dari nama – nama Allah dan sifat – sifatNya.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ
وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْ
نَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”(Q. S. Al - A’raf : 180)
B.
Pengertian Syari’ah Islamiyyah
Syari’ah Islamiyyah adalah hukum dan peraturan yang
mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hulkum dan aturan,
syari’ah islamiyyah juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan di dunia
ini. Semua hukum dan peraturan ini terdapat dalam Al – Qur’an dan dalam Al –
Hadist, yang artinya pedoman dan petujuk hidup manusia terdapat dalam Al –
Qur’an dan Al – Hadist.Secara umum Syari’ah Islamiyyah dapat diartikan dalam
arti luas dan dalam arti sempit.
1. Syari’ah Dalam Arti Luas
Dalam arti luas “Al –
Syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma – norma ilahiyah, baik
yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah
laku konkrit (legal – formal) yang individual dan kolektif.Dalam arti ini,
al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang
pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul
fikih, dan seterusnya
2. Syari’ah Dalam Arti Sempit
Dalam arti sempitsedangkan dalam arti sempit “Al –
Syari’ah” berarti norma- norma yang mengatur sistem tingkah laku individual
maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian ini, Al – Syari’ah
dibatasi meliputi ilmu fikih dan usul fikih.
Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara,
maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain dalam surat Al Ahzab ayat 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab ayat 36)
Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami
bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan
ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu.
Pemahaman makna ini didukung oleh ayat
Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101)yang menyatakan bahwa hal-hal
yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ
أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ
الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam
dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan
dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam
kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
a)
Asas Syara’
Asas Syara' Yaitu perkara
yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an dan Al Hadits.
Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama
Syara' dan Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya, mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun
berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam
keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam
istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat
Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam
keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut
tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam
memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu
berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
b)
Furu’
Syara’
Furu' Syara' Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak
jelas ketentuannya dalam Al – quran ataupundalam Al – Hadist. Sifat pada
dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri
setempat, menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah
tertentu.
3.
Ruang Lingkup Syari’ah
a)
Realisasi dari pada keyakinan akan
kebenaran ajaran agama islam kedalam kehidupan di dunia ini disebut ibadah.
Ibadah dalam arti khas (Qa’idah ‘Ubudiyah), yaitu tata aturan Ilahi yang mengatur
hubungan ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya, yang cara , acara,
tata-cara dan upacaranya telah ditentukan secara terperinci dalam al-Quran dan
sunnah rasul. Pembahasan mengenai ‘Ibadah dalam arti khusus ini biasanya
berkisar sekitar: thaharah, shalat, zakat, puasa, haji.
b)
Syariah yang mengatur hubungan
manusia secara horizontal, dengan sesama manusia dan makhluk lainnya
disebut muamalah. Muamalah meliputi ketentuan atau peraturan
segala aktivitas hidup manusia dalam pergaulan dengan sesamanya dan dengan alam
sekitarnya. Kedudukan Syari’ah dalam pokok ajaran Islam. Syari’ah
merupakan bukti aqidah yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan perbuatan.
Perbuatan tersebut dilakukan manusia semenjak lahir sampai mati dalam ruang
waktu kehidupan dunia ini. Semenjak manusia terbangun dari tidur hingga tidur
kembali dalam waktu 24 jam, perbuatan manusia dibingkai oleh nilai nilai
transendental thaharah dan shalat.Umumnya manusia beristirahat malam hari dan
bekerja pada siang hari. Hasil pekerjaan tersebut disyukuri dengan cara berbagi
kepada orang yang tidak mampu bekerja. Nilai nilai transedental zakat melandasi
setiap tetes keringat yang keluar dari tubuh manusia karena kerja keras mereka
pada saat terjaga.
C. Hubungan
Antara Aqidah dengan Syari’ah Islamiyyah
Menurut
Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah
menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian
di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang
dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat
di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan
berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa
akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Ada juga
yang menyatakan bahwa hubungan aqidah dengan syariat adalah hubungan di antara
budi dan perangai. Dalam undang-undang budi, suatu budi yang tinggi hendaklah
dilatihkan terus supaya menjadi perangai dan kebiasaan. Kalau seorang telah
mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula
percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, niscaya dengan sendirinya kepercayaan
itu mendorongnya supaya mencari perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela
oleh Tuhan. Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia
akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup
menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani,
dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui
dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada
orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa
menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.
Inilah
aqidah yang kuat, aqidah yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini telah
dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mukmin yang semacam ini telah mempunyai
prinsip yang benar dan kokoh. Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang
dengan penuh rasa tanggungjawab dan waspada dalam segala urusan. Apabila mereka
berada di atas dasar kebenaran, maka ia dapat bekerja sama dengan mereka. Kalau
ia melihat mereka menyimpang dari jalan yang benar, maka ia mengambil jalan
sendiri.
Kemantapan iman dapat diperoleh dengan
menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa al-Allah (Tiada tuhan selain Allah).
Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah; dan tiada yang dapat
mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah. Pendket kata, kebahagiaan dan
kesengsaraan hanyalah dari Allah. Al-Maududi mengemukakan beberapa pengaruh
kalimat tauhid ini dalam kehidupan
manusia :
a)
Manusia
yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan sempit
dan berakal pendek.
b)
Keimanan
mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai
manusia.
c)
Bersamaan
dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke dalam diri
manusia rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
d)
Keimanan
membuat manusia menjadi suci dan benar.
e)
Orang yang
beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang bagaimanapun.
f)
Orang yang
beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya teguh kepada
Allah SWT.
g)
Keimanan
membuat keberanian dalam diri manusia.
h)
Keimanan
terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap cinta damai
dan keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
i)
Pengaruuh
yang terpenting adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada
hukum-hukum Allah.
D.
Kesimpulan
Aqidah (العقيدة,
al-'aqīdah) dalam istilah Islam yang
berarti iman. Yaitu
keyakinan yang tegyh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang
meyakininya. Secara etimologi aqidah berasal
dari kata ‘aqida-ya’qidu –
‘aqdan/aqidatan. Kaitan antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah
keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat, dan
mengandung perjanjian. Jadi aqidah adalah
suatu yang diyakini secara kokoh di hati seseorang dan bersifat mengikat
Syari’ah
Islamiyyah adalah hukum dan peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan
umat Muslim. Selain berisi hulkum dan aturan, syari’ah islamiyyah juga berisi
penyelesaian masalah seluruh kehidupan di dunia ini. Semua hukum dan peraturan
ini terdapat dalam Al – Qur’an dan dalam Al – Hadist, yang artinya pedoman dan
petujuk hidup manusia terdapat dalam Al – Qur’an dan Al – Hadist. Secara umum
Syari’ah Islamiyyah dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Menurut
Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah
menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian
di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang
dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat
di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan
berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa
akidah laksana gedung tanpa fondasi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar